REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Analis mata uang Doo Financial Futures, Lukman Leong, memperkirakan nilai tukar rupiah berpotensi menguat seiring meredanya tensi geopolitik global, terutama di kawasan Timur Tengah.
“Rupiah masih dipengaruhi sentimen eksternal dan diperkirakan akan menguat terhadap dolar AS di tengah sentimen risk on oleh meredanya situasi geopolitik,” ujar Lukman di Jakarta, Rabu (25/6/2025).
Presiden Amerika Serikat Donald Trump pada Senin (23/6) mengumumkan bahwa Israel dan Iran telah menyepakati gencatan senjata “total dan menyeluruh” setelah eskalasi konflik selama hampir dua pekan. Gencatan senjata tersebut diberlakukan mulai Selasa (24/6) pukul 11.00 WIB.
Namun, pada Selasa pagi, Menteri Pertahanan Israel, Israel Katz, memerintahkan serangan lanjutan ke Iran dengan alasan bahwa Iran telah melanggar kesepakatan. Pemerintah Iran membantah tuduhan tersebut dan berjanji akan melakukan pembalasan jika kembali diserang.
Sehari sebelumnya, Iran juga telah meluncurkan rudal ke Pangkalan Udara Al Udeid milik militer AS di Qatar, sebagai respons atas serangan Amerika terhadap tiga fasilitas nuklir Iran.
“Situasi di Timur Tengah memang masih penuh ketidakpastian, namun paling tidak, keadaan saat ini jauh lebih baik dibandingkan kekhawatiran akan terjadinya saling serang besar-besaran,” ujar Lukman.
Di sisi lain, penguatan rupiah juga tertahan oleh sikap hawkish Gubernur Federal Reserve (The Fed), Jerome Powell, yang menyebut inflasi AS masih belum mencapai target dan masih berisiko meningkat akibat tekanan tarif.
Berdasarkan kondisi tersebut, nilai tukar rupiah diperkirakan bergerak di kisaran Rp16.250 hingga Rp16.350 per dolar AS.
Pada pembukaan perdagangan Rabu pagi, nilai tukar rupiah menguat 98 poin atau 0,60 persen ke level Rp16.256 per dolar AS dari posisi sebelumnya di Rp16.354 per dolar AS.