Kamis 25 Sep 2025 15:53 WIB

Rupiah Melemah ke Rp16.749 per Dolar AS, Ini Pemicunya

Gejolak geopolitik global dan wacana tax amnesty tekan rupiah makin terpuruk.

Rep: Eva Rianti/ Red: Gita Amanda
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah hampir menyentuh Rp16.750 per dolar AS. (ilustrasi)
Foto: ANTARA/Rivan Awal Lingga
Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah hampir menyentuh Rp16.750 per dolar AS. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah hampir menyentuh Rp16.750 per dolar AS. Pengamat menilai, pelemahan rupiah dipengaruhi meningkatnya risiko geopolitik di pasar global.

Mengutip Bloomberg, rupiah melemah 64,50 poin atau 0,39 persen ke level Rp16.749 per dolar AS pada penutupan perdagangan Kamis (25/9/2025). Sehari sebelumnya, rupiah berada di posisi Rp16.684 per dolar AS.

Baca Juga

“(Sentimen eksternal) Ketegangan geopolitik di Eropa kembali memanas, setelah Presiden AS Donald Trump pada Selasa menyampaikan nada lebih agresif terhadap Rusia dalam pidatonya di Perserikatan Bangsa-Bangsa. Ia memperingatkan negara-negara Eropa agar tidak terus membeli minyak Rusia dan mengatakan Washington sedang mempertimbangkan sanksi baru yang dapat menargetkan aliran energi,” ujar Pengamat Mata Uang dan Komoditas Ibrahim Assuaibi, Kamis.

Ibrahim menjelaskan, meski belum ada langkah konkret yang diumumkan, retorika tersebut meningkatkan risiko geopolitik pasar. Ada kekhawatiran sanksi yang lebih keras dapat mengganggu ekspor Rusia atau memicu aksi balasan pasokan energi.

Ukraina diketahui meningkatkan serangan pesawat nirawak terhadap infrastruktur energi Rusia dalam beberapa pekan terakhir, menargetkan kilang minyak dan terminal ekspor untuk menekan pendapatan Moskow. Rusia bahkan mengalami kekurangan bahan bakar jenis tertentu dengan kemungkinan pembatasan ekspor jika diperlukan.

Di sisi lain, Ketua The Fed Jerome Powell, yang berbicara di Washington pada Selasa (23/9/2025), menegaskan kebijakan moneter tetap bergantung pada data. Ia mengakui keseimbangan risiko telah bergeser, dengan ancaman terhadap lapangan kerja meningkat. Namun, ia memperingatkan pelonggaran terlalu agresif dapat memicu inflasi kembali naik.

“Dengan kebijakan yang masih ketat dalam wilayah restriktif, mempertahankan suku bunga terlalu lama berisiko menimbulkan dampak yang tidak perlu pada lapangan kerja, menunjukkan bahwa bias The Fed cenderung dovish meskipun dalam pergerakan yang hati-hati,” jelas Ibrahim.

photo
Karyawan menunjukkan uang dollar dan rupiah di money changer. - (Republika/Prayogi)

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement