Senin 30 Jun 2025 12:36 WIB

Mentan: 80 Persen Beras SPHP Diduga Dioplos, Negara Rugi Rp 2 Triliun per Tahun

Pengoplosan beras subsidi jadi premium merugikan negara hingga triliunan rupiah.

Rep: Eva Rianti/ Red: Gita Amanda
Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman mengungkapkan temuan terkait peredaran beras bermasalah di pasar, (ilustrasi)
Foto: Kementerian Pertanian
Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman mengungkapkan temuan terkait peredaran beras bermasalah di pasar, (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menteri Pertanian (Mentan) Andi Amran Sulaiman mengungkapkan dugaan pengoplosan beras program Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) hingga 80 persen, yang kemudian dikemas ulang menjadi beras premium. Ia menyebut, tindakan tersebut berpotensi menimbulkan kerugian negara hingga Rp 2 triliun per tahun.

“Menurut laporan dari bawah, pengakuan tim Satgas Pangan yang bekerja secara tertutup, itu 80 persen dioplos,” kata Amran di Kantor Kementerian Pertanian, Jakarta, Senin (30/6/2025).

Baca Juga

Hanya 20 persen yang merupakan beras SPHP murni, sedangkan sisanya dicampur dan dikemas menggunakan label beras premium, lalu dijual dengan harga premium. Berdasarkan perhitungannya, kerugian negara bisa mencapai Rp 2 triliun per tahun.

“Contoh, harga pemerintah ini sudah didiskon, ada subsidi Rp 1.500 atau Rp 2.000. Setelah diserahkan ke kios, tidak ada instrumen pengontrol. Yang dipajang hanya 20 persen, yang 80 persen dijadikan beras premium. Naik Rp 2.000, jika 1,4 juta ton (kuota beras subsidi SPHP) dikalikan 80 persen, artinya 1 juta ton. Lalu 1 juta ton dikalikan Rp 2.000, hasilnya Rp 2 triliun,” jelasnya.

Amran menegaskan, kasus ini makin pelik karena SPHP justru didistribusikan pada saat panen raya. Padahal, idealnya SPHP dikeluarkan hanya saat panen terbatas untuk menjaga keseimbangan pasar.

“Yang menarik, SPHP diturunkan saat panen raya. Ini tidak boleh terjadi. Coba cek data Rakortas, sudah kami tegaskan,” ucapnya.

Salah satu lokasi yang disoroti ialah kawasan Cipinang. Ia mengatakan, biasanya stok harian hanya sekitar 40 ribu ton, namun melonjak menjadi 50 ribu ton per hari secara tiba-tiba.

Saat ini, Kementerian Pertanian tengah mendalami hasil investigasi mengenai mutu dan harga beras di pasaran. Mayoritas beras premium dan medium yang beredar dinilai tidak sesuai dengan volume, tidak mengikuti harga eceran tertinggi (HET), belum teregistrasi sebagai Pangan Segar Asal Tumbuhan (PSAT), dan tidak memenuhi standar mutu sesuai Permentan Nomor 31 Tahun 2017.

Dalam investigasi selama 6–23 Juni 2025, dari 268 sampel beras yang diambil dari 212 merek di 10 provinsi, ditemukan 85,56 persen beras premium tidak sesuai standar mutu. Selain itu, 59,78 persen melebihi HET dan 21,66 persen memiliki berat bersih lebih rendah dari yang tertera pada kemasan.

Untuk kategori beras medium, sebanyak 88,24 persen tidak memenuhi standar mutu SNI. Lalu 95,12 persen dijual di atas HET, serta 9,38 persen tercatat memiliki berat kemasan tidak sesuai.

“Ketidaksesuaian mutu beras premium mencapai 85,56 persen, HET 59,78 persen, dan berat 21,66 persen. Kami libatkan 13 laboratorium di seluruh Indonesia, karena persoalan ini sangat sensitif,” ungkap Amran.

Kementan memperkirakan total kerugian konsumen dari beras premium mencapai Rp 34,21 triliun dan dari beras medium sekitar Rp 65,14 triliun, sehingga total kerugian masyarakat mencapai Rp 99,35 triliun per tahun.

“Kami akan verifikasi ulang. Satgas akan turun kembali. Mutu, harga, dan berat yang tidak sesuai sangat merugikan konsumen,” ujarnya.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement