REPUBLIKA.CO.ID, MATARAM - Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Barat (Pemprov NTB) menanggapi soal dugaan sejumlah pulau-pulau kecil di wilayah setempat yang dikuasai oleh warga negara asing (WNA). Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) NTB Muslim menegaskan tidak tahu-menahu soal adanya dugaan penguasaan pulau-pulau oleh WNA.
Menurutnya, persoalan status pulau-pulau kecil bukan kewenangan pemerintah provinsi (pemprov), melainkan kewenangan Badan Pertanahan Nasional (BPN) sebagai instansi yang mengeluarkan sertifikat. "BPN yang lebih paham, karena mereka yang keluarkan sertifikat," ujar Muslim, di Mataram, Rabu (2/7/2025).
Namun demikian, Muslim mengatakan bahwa kepemilikan pribadi atas tanah di pulau-pulau kecil secara aturan memang diizinkan. Namun, kata dia, harus tetap tunduk pada ketentuan yang berlaku dalam sistem pertanahan nasional. "Dalam konteks provinsi, kepemilikan personal atas tanah di pulau diperbolehkan. Tapi ketika mulai diperjualbelikan untuk kegiatan usaha, maka statusnya berubah menjadi Hak Guna Usaha (HGU)," kata Muslim.
Oleh karena itu, menurut Muslim, pengaturan ruang atas pulau-pulau kecil di Indonesia berada dalam kewenangan kabupaten/kota, bukan provinsi atau pusat. Hal ini sesuai dengan mekanisme Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) di tingkat daerah, yakni kabupaten/kota. "Pengelolaan pulau kecil masuk dalam RTRW kabupaten, bukan provinsi atau pusat. Untuk Penanaman Modal Asing (PMA), izinnya di pusat atas rekomendasi bupati, sedangkan untuk Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN), izinnya melalui OSS kabupaten," ujar Muslim.
"Jadi provinsi nggak ada kewenangan, karena berdasarkan Permendagri 76 Tahun 2012 yang diperbaharui Permendagri 141 Tahun 2017 tentang Batas Wilayah, menjadi kewenangan kabupaten," katanya menambahkan.
Lebih jauh, Muslim merinci skema pemanfaatan lahan pulau berdasarkan aturan yang berlaku, termasuk batasan pengelolaan bagi pemilik atau investor. "Dalam pemanfaatan pulau kecil, misalnya si A punya lahan di pulau tersebut, maka 30 persen tetap dikuasai negara. Sisanya 70 persen bisa dikelola oleh korporasi, dengan pembagian 40 persen untuk kegiatan usaha, dan 30 persen lagi untuk ruang terbuka hijau (RTH)," ujarnya.
Saat ditanya mengenai keabsahan praktik jual-beli atau penguasaan lahan pulau, Muslim mengingatkan bahwa sertifikasi tanah tidak otomatis berarti bisa diperjualbelikan secara bebas. "Wallahu'alam, saya tidak tahu, silakan konfirmasi langsung ke BPN. Contohnya Gili Nanggu, semua izin AMDAL sudah lengkap. Kalau memang pengawasan lemah, maka representasi pusat di daerah sebaiknya diperkuat atau diambil alih," ujar Muslim.
Muslim juga menggarisbawahi pentingnya peran pengawasan dari BPN dan instansi pusat, terutama untuk menjaga aspek legalitas pemanfaatan ruang. "Per kabupaten datanya saya punya, misalnya di Lombok Barat ada beberapa sertifikat. Tapi lebih baik langsung ke BPN kabupaten untuk detail-nya," katanya pula.