Ahad 06 Jul 2025 07:05 WIB

Apakah AI akan Memangkas Drastis Jumlah Tenaga Kerja?

Andy Jassy pemimpin perusahaan teknologi raksasa Amazon memperingatkan lagi dampak penerapan AI yang makin luas terhadap pengurangan tenaga kerja. Apakah AI akan mengambil alih seluruh pekerjaan?

Rep: deutsche welle/ Red: deutsche welle
Christian Ohde/CHROMORANGE/picture alliance

CEO Amazon, Andy Jassy, baru-baru ini mengumumkan, perusahaannya akan mengurangi jumlah tenaga kerja, karena kecerdasan buatan (AI) menggantikan karyawan manusia. Ia juga memperingatkan, AI akan memengaruhi beragam pekerjaan dan sektor dalam skala luas.

Tidak hanya Amazon, banyak perusahaan teknologi lain melontarkan peringatan serupa, terkait terobosan AI yang akan mengubah kebutuhan tenaga kerja manusia.

Pada bulan Mei, Dirut perusahaan startup AI Anthropic mengatakan kepada Axion, situs berita yang berbasis di Arlington, Virginia, AS, bahwa AI dapat mengambil alih separuh pekerjaan karyawan tingkat pemula, dalam satu hingga lima tahun ke depan.

Perusahaan-perusahaan publik AS telah mengurangi jumlah pekerja kantoran mereka hingga 3,5% selama tiga tahun terakhir, berdasarkan laporan Wall Street Journal dengan mengutip penyedia data ketenagakerjaan dari Live Data Technologies. Selama satu dekade terakhir, satu dari lima perusahaan menyusut dalam indeks saham Standard&Poors 500 AS.

Beberapa perusahaan teknologi, termasuk Microsoft, Hewlett Packard, dan Procter & Gamble, telah mengumumkan pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap ribuan pekerja dalam beberapa bulan terakhir.

Baru-baru ini, penyedia layanan ritel Shopify menyebutkan, tim yang meminta staf tambahan harus terlebih dahulu membuktikan bahwa AI tidak dapat melakukan tugas-tugas tersebut.

Duolingo, sebuah aplikasi pembelajaran bahasa, berencana untuk mengganti pekerja kontraknya dengan AI secara bertahap.

Kekhawatiran akan pengangguran massal

Organisasi Kerja Sama Ekonomi dan Pembangunan (OECD) memperkirakan, seperempat pekerjaan di seluruh dunia berisiko tinggi untuk digantikan oleh otomatisasi AI.

Namun, AI juga diharapkan dapat menciptakan peluang baru, dan meningkatkan produktivitas.

Sebuah laporan dari World Economic Forum pada awal tahun ini memperkirakan, transformasi teknologi akan menggantikan sekitar 92 juta pekerjaan yang ada pada tahun 2030, sekaligus menciptakan 170 juta pekerjaan baru. Pekerjaan di negara maju kemungkinan besar akan lebih terpengaruh oleh AI daripada di negara berkembang.

Sebuah studi yang diterbitkan oleh Dana Moneter Internasional (IMF) tahun lalu menginformasikan, teknologi memengaruhi 60% pekerjaan di negara maju, sekitar setengahnya berpengaruh negatif, sedang setengah lagi positif.

Laporan tersebut menyimpulkan, sekitar 40% pekerjaan di negara berkembang dan 26% pekerjaan di negara-negara berpenghasilan rendah akan terdampak.

Meskipun pasar tenaga kerja di negara-negara tersebut melihat dampak awal AI yang relatif lebih kecil, mereka juga cenderung tidak mendapatkan keuntungan dari peningkatan produktivitas yang dijanjikan kecerdasan buatan.

Siapa yang paling terdampak?

Terobosan-terobosan teknologi di masa lalu membuat pekerja berketerampilan rendah dan pekerja kerah biru terdampak paling berat, contohnya pekerja pabrik yang digantikan oleh robot.

Namun, adopsi AI secara luas diperkirakan akan berdampak besar pada pekerja kantoran yang berpendidikan lebih tinggi, terutama mereka yang memiliki tugas-tugas yang dapat dilakukan oleh AI dengan kualitas yang sama atau lebih baik daripada pekerja manusia.

Sebuah studi yang dilakukan oleh Pew Research Center di Amerika Serikat menemukan, pekerjaan yang melibatkan pengumpulan informasi dan analisis data, seperti pengembang web, penulis teknis, akuntan, dan pekerja entri data, antara lain, akan berisiko tinggi digantikan oleh AI.

Pekerjaan padat karya yang tidak dapat dengan mudah diotomatisasi, seperti pekerja konstruksi, pengasuh anak, dan petugas pemadam kebakaran, diperkirakan akan tetap menjadi pekerjaan yang paling tangguh.

Kemungkinan hilangnya pekerjaan secara besar-besaran telah memicu kekhawatiran akan dampak buruk AI terhadap pekerjaan dan masyarakat, sehingga menarik perhatian para politisi dan bahkan Paus Leo XIV, pemimpin Gereja Katolik dunia, memperingatkan ancaman yang ditimbulkan oleh AI terhadap pekerjaan dan martabat manusia.

Apakah kekhawatiran terkait AI berlebihan?

Pakar pasar tenaga kerja Enzo Weber dari Institute of Employment Research (IAB) di Nürnberg, Jerman, yakin bahwa kekhawatiran akan hilangnya pekerjaan tidak tepat.

Kepada DW, ia mengatakan kemajuan AI memberi peluang ekonomi dan lebih membantu pekerja daripada menyebabkan pengangguran massal.

"AI pada dasarnya mengubah pekerjaan, tetapi tidak secara fundamental menghilangkannya," kata Weber, seraya menambahkan bahwa teknologi ini dalam banyak kasus membantu pekerja manusia "mengembangkan tugas-tugas baru dan melakukan tugas tersebut lebih baik, bukan menggantikannya."

Sebuah makalah yang diterbitkan pada bulan Januari oleh ekonom Harvard, David Deming, Christopher Ong, dan Lawrence H. Summers, memiliki pandangan yang sama.

Para ekonom tersebut berpendapat, otomatisasi tugas-tugas pekerjaan individu "tidak serta merta mengurangi lapangan kerja" bahkan lebih pada "peningkatan lapangan kerja di beberapa sektor" ekonomi.

"Pada prinsipnya, kemampuan untuk mengotomatisasi tugas yang sebelumnya berat, membuat pekerja jauh lebih produktif sehingga ada peningkatan output - mengimbangi fakta bahwa beberapa pekerjaan mereka sekarang dilakukan oleh mesin," kata para penulis dalam makalah tersebut.

Menekankan bahwa dampak AI kemungkinan besar akan "meluas dan bertahan lama," mereka juga menulis, "sejarah mengajarkan kita, meskipun AI mengganggu pasar tenaga kerja, dampaknya akan terjadi secara bertahap selama beberapa dekade."

Beradaptasi dengan lanskap teknologi yang berubah

Mengingat pengembangan teknologi kecerdasan buatan masih dalam tahap awal, dampak jangka panjangnya terhadap pasar tenaga kerja global masih belum dapat dipastikan.

Kinerja dari banyak alat bantu AI juga akan bergantung pada seberapa baik alat tersebut diintegrasikan ke dalam tempat kerja, dan kemauan serta kemampuan pekerja untuk menggunakannya.

Jika para pekerja menolak untuk memanfaatkan AI sepenuhnya, karena khawatir dengan pekerjaan mereka, ini dapat mengganggu peningkatan produktivitas yang dijanjikan teknologi baru ini.

Pakar pasar tenaga kerja Weber mendesak perusahaan dan pekerja untuk beradaptasi dengan lanskap teknologi yang berubah, serta memanfaatkan peluang yang ada karena baginya teknologi AI adalah "game changer”.

"Teknologi ini menghadirkan peluang, tetapi peluang tersebut harus dimanfaatkan. Pengembangan lebih lanjut dan pelatihan aktif bagi para pekerja sangatlah penting. Bukan hanya untuk mengimbangi, tetapi untuk melangkah sejauh mungkin ke depan.”

Artikel ini pertama kali terbit dalam bahasa Inggris

Diadaptasi oleh Sorta Caroline

Editor Agus Setiawan

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Disclaimer: Berita ini merupakan kerja sama Republika.co.id dengan deutsche welle. Hal yang terkait dengan tulisan, foto, grafis, video, dan keseluruhan isi berita menjadi tanggung jawab deutsche welle.
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement