Rabu 09 Jul 2025 15:27 WIB

Di Sidang Pleidoi Tom Lembong, Pengacara Ungkit Rapat yang Disetujui Jokowi

Kuasa hukum juga mempertanyakan dasar tuntutan yang menggunakan audit BPKP tahun 2024

Rep: Rizky Suryarandika/ Red: Israr Itah
Terdakwa kasus dugaan korupsi impor gula Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong (ilustrasi).
Foto: Republika/Prayogi
Terdakwa kasus dugaan korupsi impor gula Thomas Trikasih Lembong atau Tom Lembong (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketua Tim Penasihat Hukum Tom Lembong, Ari Yusuf Amir, menyatakan tuntutan tujuh tahun penjara yang diajukan Jaksa Penuntut Umum (JPU) kepada kliennya merupakan kriminalisasi terhadap kebijakan publik. Ari sempat mengungkit saat Tom Lembong mendapat persetujuan dari Joko Widodo selaku Presiden saat itu.

Ari menegaskan, seluruh keputusan Tom Lembong saat menjabat Menteri Perdagangan dilakukan berdasarkan hukum, arahan Presiden, serta koordinasi lintas kementerian.

Baca Juga

“Tuntutan ini bukan hanya tak berdasar hukum, tapi juga mencederai prinsip keadilan dan akal sehat,” kata Ari dalam sidang pembacaan pleidoi di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat pada Rabu (9/7/2025).

Ari menyatakan, Tom Lembong selama menjabat sebagai Menteri Perdagangan tidak pernah menerima keuntungan pribadi, tidak melakukan kolusi, dan tidak mengarahkan kebijakan untuk menguntungkan pihak tertentu.

“Klien kami tidak menerima sepeser pun. Tidak ada kolusi, tidak ada keuntungan pribadi. Bahkan, beberapa perusahaan justru mengalami kerugian dari kebijakan ini,” ujar Ari.

Ari menekankan kebijakan impor gula yang menjadi sorotan dalam perkara ini justru dilandasi oleh kebutuhan nasional untuk menjaga ketersediaan stok dan stabilitas harga. Impor dilakukan berdasarkan keputusan Rapat Koordinasi Terbatas (Rakortas) yang dipimpin langsung oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, dan disetujui Presiden Joko Widodo.

“Impor itu diputuskan dalam Rakortas, bukan semena-mena. Dasar hukumnya jelas. Jadi tidak bisa disebut sebagai penyalahgunaan wewenang,” kata Ari menjelaskan.

Kuasa hukum juga mempertanyakan dasar tuntutan yang menggunakan audit BPKP tahun 2024. Padahal audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) pada 2018 secara tegas menyatakan tidak ada kerugian negara dalam impor gula 2015–2016.

“BPK sebagai lembaga audit resmi negara menyatakan tidak ada kerugian negara. Lalu tiba-tiba tujuh tahun kemudian muncul audit BPKP yang berseberangan? Ini tidak sah dan melanggar asas ne bis in idem,” kata Ari.

Ari menilai metode penghitungan kerugian dalam audit BPKP sangat lemah. Menurutnya, ada kekeliruan dalam asumsi dan penghitungan kurs.

"Ada pengabaian konteks kebijakan yang saat itu ditujukan untuk menekan lonjakan harga dan menjaga pasokan," kata dia.  

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement