Jumat 18 Jul 2025 13:35 WIB

Buya Anwar: Jangan Bantah Krisis Lapangan Kerja, Fokuslah Ciptakan Solusi

Penggunaan bahasa halus dinilai justru menyamarkan realita pengangguran.

Rep: Fuji E Permana/ Red: Gita Amanda
Pengamat sosial ekonomi dan keagamaan, Buya Anwar Abbas, mengkritik pernyataan Menaker yang membantah bahwa Indonesia tengah berada dalam fase krisis lapangan kerja. (ilustrasi)
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Pengamat sosial ekonomi dan keagamaan, Buya Anwar Abbas, mengkritik pernyataan Menaker yang membantah bahwa Indonesia tengah berada dalam fase krisis lapangan kerja. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Pengamat sosial ekonomi dan keagamaan, Buya Anwar Abbas, mengkritik pernyataan Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) yang membantah Indonesia tengah berada dalam fase krisis lapangan kerja. Menurutnya, pernyataan tersebut terasa aneh dan terkesan menutup mata terhadap kenyataan di lapangan.

“Sebagai contoh, Pak Jusuf Kalla (JK) menceritakan perusahaannya membutuhkan 20 orang insinyur, tetapi yang melamar mencapai 23.000 orang,” ujar Buya Anwar kepada Republika, Jumat (18/7/2025).

Baca Juga

Ia juga mencontohkan situasi di kawasan Santiong, Cianjur, di mana terjadi antrean panjang pelamar kerja hanya untuk satu lowongan di toko ritel. Menurutnya, kondisi tersebut menunjukkan bahwa krisis lapangan kerja memang nyata terjadi.

Buya Anwar menilai sang menteri berusaha menciptakan narasi optimisme di tengah masyarakat. Oleh karena itu, sang menteri enggan menggunakan istilah “krisis lapangan kerja” karena dinilai dapat menimbulkan ketakutan secara psikologis.

“Pernyataan sang menteri mungkin ada benarnya. Namun, penggunaan kata-kata yang diperhalus untuk menggantikan istilah yang tidak menyenangkan, disebut dengan eufemisme, juga memiliki dampak negatif. Eufemisme bisa menyamarkan masalah sebenarnya, bahkan kerap kali tidak mendorong kita untuk melakukan perbaikan,” jelas Buya Anwar.

Ia menegaskan bahwa eufemisme bisa menjadi sesuatu yang menyesatkan. Bahasa yang diperhalus berpotensi membuat penyampaian menjadi berbelit-belit, sulit dipahami, dan kehilangan makna.

“Yang lebih parah, eufemisme bisa membuat seseorang atau instansi lari dari tanggung jawabnya. Hal ini tentu tidak kita inginkan,” ujarnya.

Wakil Ketua Umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) itu menyarankan agar pemerintah tidak sibuk memperhalus pernyataan yang disampaikan kepada masyarakat. Sebaliknya, pemerintah sebaiknya lebih fokus bekerja sama dengan dunia usaha dan masyarakat luas untuk mengatasi masalah yang sebenarnya, yakni menciptakan lapangan kerja.

“Dengan demikian, masalah pengangguran dan pencari kerja di negeri ini dapat kita atasi dengan sebaik-baiknya,” katanya.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Online (@republikaonline)

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّٰهِ لِنْتَ لَهُمْ ۚ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيْظَ الْقَلْبِ لَانْفَضُّوْا مِنْ حَوْلِكَ ۖ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِى الْاَمْرِۚ فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْنَ
Maka berkat rahmat Allah engkau (Muhammad) berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau bersikap keras dan berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekitarmu. Karena itu maafkanlah mereka dan mohonkanlah ampunan untuk mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, maka bertawakallah kepada Allah. Sungguh, Allah mencintai orang yang bertawakal.

(QS. Ali 'Imran ayat 159)

Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement