Selasa 22 Jul 2025 17:33 WIB

Indef: Lapangan Kerja Harus Jadi Arus Utama Kebijakan Pemerintah

Ekonom tegaskan pentingnya sinergi sektor untuk dorong pertumbuhan lapangan kerja.

Sejumlah pencari kerja mengantre saat menghadiri acara Jakarta Jobfair di GOR Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Rabu (16/7/2025). Pemprov DKI Jakarta melalui Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi menggelar Jakarta Jobfair 2025 di dua titik yakni di GOR Pasar Minggu dan GOR Soemantri yang berlangsung pada 16-17 Juli. Jakarta Jobfair tersebut diikuti oleh sebanyak 40 perusahaan dengan membuka sekitar 2.000 lapangan pekerjaan.
Foto: Republika/Thoudy Badai
Sejumlah pencari kerja mengantre saat menghadiri acara Jakarta Jobfair di GOR Pasar Minggu, Jakarta Selatan, Rabu (16/7/2025). Pemprov DKI Jakarta melalui Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi menggelar Jakarta Jobfair 2025 di dua titik yakni di GOR Pasar Minggu dan GOR Soemantri yang berlangsung pada 16-17 Juli. Jakarta Jobfair tersebut diikuti oleh sebanyak 40 perusahaan dengan membuka sekitar 2.000 lapangan pekerjaan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ekonom sekaligus Direktur Kolaborasi Internasional INDEF Imaduddin Abdullah menilai penciptaan lapangan kerja perlu menjadi arus utama (mainstream) dari kebijakan pemerintah. Utamanya di tengah ketidakpastian kondisi ekonomi global.

“Diperlukan kolaborasi lintas kementerian, termasuk sektor industri, investasi, pendidikan, hingga pemerintah daerah,” kata Imaduddin dalam forum bertajuk “Sinergi Media Massa sebagai Akselerasi Informasi Publik pada Sektor Ketenagakerjaan” di Kantor Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) RI Jakarta, Selasa (22/7/2025).

Baca Juga

“Sehingga, strategi ketenagakerjaan benar-benar mampu mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan,” ujarnya menambahkan.

Imaduddin melanjutkan, kebijakan ketenagakerjaan pun harus dilihat secara luas, tidak hanya dari sisi supply (penyiapan tenaga kerja) tetapi juga demand (penciptaan lapangan kerja), serta memperhatikan variasi spasial antar daerah sesuai karakteristik sektoral dan kebutuhan lokal.

Lebih lanjut, kondisi ekonomi dan geopolitik saat ini, seperti kebijakan tarif dagang Amerika Serikat (AS) memengaruhi sejumlah indikator ekonomi Indonesia, termasuk di sektor ketenagakerjaan.

Imaduddin mengatakan, kebijakan ini berdampak pada penyerapan tenaga kerja dan melemahnya investasi, sehingga memperbesar risiko terhadap stabilitas sosial dan pertumbuhan jangka menengah.

Ia menyebutkan, sektor tekstil dan pakaian merupakan salah satu penyerap tenaga kerja terbesar di Indonesia, terutama untuk tenaga kerja perempuan dan kelompok berpendidikan rendah.

Selain itu, sektor padat karya juga sangat rentan terhadap tekanan eksternal seperti perubahan kebijakan perdagangan, pelemahan permintaan global, serta naiknya biaya produksi (energi, bahan baku).

Namun, program-program prioritas pemerintah ia nilai mampu membuka peluang penciptaan lapangan kerja.

“Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih memiliki potensi besar dalam mendorong penciptaan lapangan kerja baru di tingkat desa dan kelurahan. Dengan estimasi penambahan hingga 2 juta lapangan kerja baru dan potensi suntikan ekonomi mencapai Rp43,2 triliun, program koperasi dapat menjadi motor penggerak pertumbuhan ekonomi lokal dan inklusi sosial,” kata dia.

Selain itu, kebijakan hilirisasi di sektor minerba, ketenagalistrikan, dan industri kendaraan listrik berpotensi besar mendorong penciptaan lapangan kerja baru lintas sektor, dengan target 6,2 juta lapangan kerja baru hingga 2030.

“Program ini dapat memperkuat ekonomi lokal, meningkatkan nilai tambah nasional, dan membuka peluang kerja di berbagai level keahlian,” ujar Imaduddin.

“Agar potensi ini tercapai optimal, dibutuhkan sinergi lintas kementerian-khususnya peran Kementerian Ketenagakerjaan dalam pelatihan, sertifikasi, dan penyiapan SDM sesuai kebutuhan industri baru,” imbuhnya.

sumber : ANTARA
BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement