
Oleh : DR Otong Sulaeman, Ketua/Rektor STAI Sadra periode 2024-2028.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA- Langit Gaza kembali merah, bukan oleh senja, tetapi oleh api yang turun dari langit buatan manusia. Anak-anak terbangun bukan karena mimpi, tapi karena suara ledakan yang mengoyak malam.
Di balik reruntuhan itu, seorang ibu memanggil nama anaknya. Di atas puing-puing itu, seorang anak memanggil nama ibunya. Tapi dunia terlalu sibuk menunduk pada peta, protokol, dan kepentingan untuk sekadar menengok suara mereka.
Di tengah porak-poranda, manusia memanggil manusia lain. Namun tak banyak yang datang. Beberapa memilih diam, dan sebagian lagi menatap dari kejauhan—dengan mata penuh kalkulasi dan hati yang tertutup oleh lembaran diplomasi.
Dunia Arab, yang dalam sejarahnya pernah menggemakan semangat perlawanan terhadap ketidakadilan, kini sebagian memilih jalan sunyi: jalan yang tidak berkata apa-apa, dan karena itu justru lebih menusuk daripada makian.
Dante Alighieri, dalam Divine Comedy, menulis bahwa tempat terburuk di neraka disediakan bukan bagi para pembunuh, tetapi bagi mereka yang memilih netral ketika kebenaran dan kezaliman saling berhadapan. Netral, bagi Dante, bukanlah jalan tengah.
Dia adalah ketidakberanian, keengganan untuk berpihak pada kemanusiaan. Ia adalah bentuk paling sunyi dari pengkhianatan moral.
BACA JUGA: Saat Pejuang Berjuang dan Rakyat Gaza Dibantai, Abbas Sibuk Bahas Kekuasaan, Hamas Meradang
Jalaluddin Rumi, penyair besar dari Timur, pernah menyatakan bahwa diam memang menjadi bahasa Tuhan. Tetapi, Rumi juga mengecam sikap diam ketika dunia menangis karena kezaliman.
Menurut Rumi, diam tidak selamanya melambangkan cinta, melainkan bisa merupakan tanda dari kepengecutan. Bagi Rumi, diam yang benar adalah bentuk perenungan menuju cinta ilahi.
Tapi diam di hadapan tangisan anak-anak Gaza adalah diam yang bisu, kosong dari cinta. Ia bukan zikir, melainkan pengingkaran terhadap rahmat yang seharusnya menjadi napas seorang pemimpin dan bangsa.
View this post on Instagram