Jumat 03 Oct 2025 06:57 WIB

Trump, Amandemen Arab, dan Sikap Hamas: Siapa yang Menentukan Masa Depan Palestina?

Rakyat Palestina dan perlawanan yang tumbuh dari Gaza sendiri.

Demonstran pro-Palestina membanjiri jalur kereta api di stasiun kereta Cadorna Milan, Italia, Rabu malam, 1 Oktober 2025, setelah berita bahwa armada bantuan menuju Gaza dicegat oleh pasukan Israel.
Foto: AP Photo/Luca Bruno
Demonstran pro-Palestina membanjiri jalur kereta api di stasiun kereta Cadorna Milan, Italia, Rabu malam, 1 Oktober 2025, setelah berita bahwa armada bantuan menuju Gaza dicegat oleh pasukan Israel.

Oleh : Fahmi Salim, Direktur Baitul Maqdis Institute – Anggota Majelis Tabligh PP Muhammadiyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ketika Donald Trump meluncurkan “Rencana 21 Poin” untuk Gaza, publik internasional segera terbelah. Di satu sisi, rencana itu menjanjikan gencatan senjata, rekonstruksi, dan penghentian krisis kemanusiaan.

Namun di sisi lain, banyak klausulnya dianggap berat sebelah, tidak realistis, dan mengabaikan aktor utama di lapangan: rakyat Palestina dan perlawanan yang tumbuh dari Gaza sendiri. “Proposal 21 Poin untuk Gaza” adalah rancangan gencatan senjata dan tata kelola pasca-perang yang disusun oleh lingkaran dekat Trump: Steve Witkoff, Tony Blair, dan Jared Kushner.

Baca Juga

Rencana itu segera menimbulkan pro-kontra. Washington Post dan beberapa media Barat menyebutnya sebagai cetak biru ambisius yang bisa mengatur ulang Gaza setelah perang. Namun bagi dunia Arab, blueprint itu terasa seperti deja-vu, lagi-lagi solusi dari luar, yang lebih banyak melanggengkan kepentingan Israel dan Amerika ketimbang aspirasi rakyat Palestina.

Tidak butuh waktu lama, negara-negara Arab inti — Qatar, Mesir, Yordania, dan Arab Saudi — mengajukan amandemen resmi atas draft tersebut. Mereka bahkan menggandeng Turki, Indonesia, Pakistan, dan Uni Emirat Arab sebagai penandatangan pendukung, lalu menyerahkannya ke Washington.

Mengurai Perbedaan Versi AS dan Amandemen Arab

Lima isu pokok menunjukkan betapa berbeda cara pandang Washington dan negara-negara Arab:

Pertama, soal penarikan pasukan Israel. Proposal Trump membuka peluang Israel tetap memiliki “kehadiran perimeter” yang tidak didefinisikan dengan jelas.

Artinya, bahkan setelah perang, bayangan pasukan IDF masih akan menggantung di sekitar Gaza. Amandemen Arab menolak wilayah abu-abu ini. Mereka meminta penarikan penuh dalam dua fase jelas. Simpel dan lugas: Israel harus benar-benar keluar. Sebab pengalaman menunjukkan Netanyahu CS sangat licin dan lihai memainkan tenggat waktu dan mengulur pasukan IDF.

Kedua, pasukan internasional. Washington mengusulkan “Pasukan Stabilisasi Internasional sementara” yang langsung masuk Gaza untuk mengendalikan keamanan sambil melatih pasukan Palestina. Arab mengoreksi: pasukan seperti itu hanya boleh di perbatasan, bukan di tengah Gaza, apalagi kontak langsung dengan penduduk.

Mereka menekankan pasukan itu harus mayoritas dari negara Arab dan berfungsi mirip pasukan ‘penjaga perdamaian’ PBB, bukan tentara pendudukan baru. Dalam konteks ini, komitmen Presiden Prabowo yang akan mengirim 20.000 TNI ke Gaza dalam misi ‘peace keeping’ dengan mandat internasional, bisa diwujudkan.

 

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement