Rabu 01 Oct 2025 17:32 WIB

Jejak Tony Blair, dari PM Inggris, Bantu Promosi IKN dan Kini Jadi Calon Kepala Rekonstruksi Gaza

Penunjukkan Tony Blair menuai protes di internal warga Gaza

Rep: Mg161/ Red: Teguh Firmansyah
Mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair
Foto: AP/Ben Stansall/AFP Pool
Mantan Perdana Menteri Inggris Tony Blair

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Mantan Perdana Menteri Inggris, Tony Blair, kembali ke sorotan internasional sebagai calon kepala otoritas yang bertugas melakukan rekonstruksi Gaza.

Blair akan membawa pengalaman bertahun-tahun dalam bidang politik dan negosiasi dalam menjalankan tugasnya di Gaza. 

Baca Juga

Sebelumnya ia telah menduduki 'Downing Street' (kantor perdana menteri Inggris) selama satu dekade dan kemudian bertindak sebagai utusan internasional di Timur Tengah.

Hanya setahun setelah menjadi perdana menteri pada 1998, Blair meraih salah satu pencapaian terbesarnya di jabatan itu, yaitu 'Perjanjian Jumat Agung' yang membawa perdamaian ke Irlandia Utara, dengan mediasi AS. Saat itu ia berusia 43 tahun, perdana menteri termuda Inggris sejak 1812.

Delapan tahun sebelumnya, dalam momen refleksi publik yang langka, Blair yang penuh teka-teki ditanya mengapa ia terjun ke dunia politik.

“Saya kira Anda hanya melihat dunia sekeliling Anda. Merasa ada hal-hal yang salah. Ingin mengubahnya,” katanya dikutip dari CNN pada Rabu (1/10/2025).

Tidak pernah ada doktrin Blair atau filsafat pemerintahan, berbeda dengan pendahulunya, Margaret Thatcher. Namun ia tetap menjabat hingga 2007 dan sejak itu aktif dalam diplomasi serta investasi internasional.

Penunjukan barunya di Gaza tidak lepas dari kontroversi. Blair memimpin Inggris ke dalam Perang Irak untuk mendukung Presiden AS saat itu, George W Bush, pada 2003.

Hal itu mencoreng warisannya dan memicu protes di jalanan maupun diplomatik. Lebih dari 50 mantan diplomat senior Inggris menulis surat terbuka pada April 2004 yang mengkritik dukungan tanpa syarat Blair terhadap kebijakan AS di Irak dan konflik Israel-Palestina sebagai 'gagal sejak awal.'

Sebuah penyelidikan independen terhadap dukungan Blair atas invasi Irak kemudian menemukan bahwa ia melebih-lebihkan alasan untuk berperang dan bahwa tidak ada ancaman segera dari rezim Saddam Hussein. AS menginvasi Irak dengan tujuan menyatakan mencari senjata pemusnah massal yang tersembunyi, tetapi ternyata tidak ada.

 
 
 
View this post on Instagram
 
 
 

A post shared by Republika Online (@republikaonline)

 

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement