Kamis 26 Apr 2012 08:03 WIB

Hacktivisme: Ini Ideologi, Bukan Sekadar Iseng,

Peretas melakukan serangan (ilustrasi)
Foto: AFP
Peretas melakukan serangan (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, Salah besar bila anda menganggap ini adalah aktivitas meretas iseng-iseng kala senggang, Hacktivisme tidak hanya persoalan grafiti atau mengacak-acak halaman Web, menyusupkan virus ke daftar panjang akun para politisi atau melumpuhkan jaringan pemerintahan maupun lembaga tertentu.

Aktivitas yang disebut tadi, menurut penganut Hacktivisme, tak lebih dari membalikkan penyensoran atau aksi peretasan murahan untuk protes politik. Satu anggota tersohor dari  Cult of the Dead Cow  (cDc), grup peretas dan seniman komputer bawah tanah, Oxblood Ruffin,  meyatakan hacktivisme, ialah sebuah gerakan didorong idealisme.

“Hacktivism adalah kata masa kini,” ungkap Oxblood dalam sebuah essai yang ia tulis untuk situs teknologi terkemuka, Techradar. “Dan seperti kata trendi lain, kata ini juga mengalami penggunaan secara berlebihan dan selip dalam pemakaian.”

Ia menyebut istilah itu yang memiliki pertalian erat dengan hacker atau peretas. Mengacu kepada jargon lboratorium kecerdasan buatan (AILab) dari MIT, arti asli peretas ialah seseorang yang sangat antusias melakukan aktivitas pemrograman atau menikmati pemrograman alih-alih sekadar berteori tentang pemrograman.

Dengan definisi itu, Richard Stallman ( aktivis kebebasan software dan penggagas proyek GNU), Linus Torvalds (pencipta Linux) dan Bruce Perens (pemimpin komunitas Free Software/Open Source dunia) ialah para hacker dan mereka bangga dilabeli kata itu. Namun, beberapa saat kebelakang, media dan publik menggunakan kata peretas sebagai konotasi kriminal siber. Kata yang awalnya bermakna positif, keluh Oxblood, kini jatuh dalam reputasi buruk.

Hormati hukum internasional

Kembali ingin meluruskan salah kaprah tadi, dalam essainya Oxblood menekankan, hacktivisme yang dilontarkan pertama kali oleh cDc--grup berdiri sejak 1984--selalu mengacu pada pasal 19 dari Deklarasi Universal PBB Hak Asasi Manusia. Sejak pertama muncul, gagasan yang diusung hacktivisme ialah menggunakan teknologi untuk meningkatkan dan memperjuangkan kebebasan juga hak asasi manusia (HAM) serta menghadirkan  pertukaran informasi secara terbuka.

Dalam sebuah pertemuan bertajuk Hackers on Planet Earth pada 2004 silam, Oxblood sudah menggarisbawahi fenomena relasi antara komunitas akademisi, peretas dan aktivis HAM dalam melawan penyensoran. Saat itu mulai muncul penolakan dari kalangan akar rumput dengan teknologi. Itulah wujud nyata hacktivisme melawan penindasan.

Guru besar ilmu komputer dari Citizen Lab, Universitas Toronto, Ronald Deibert, yang mensponsori dan mengembangkan teknologi untuk para aktivis menyatakan ia tak bisa mengingat kapan  pertama kali mendengari istilah hacktivisme. Namun ia mulai menggunakan kata itu untuk mendeskripsikan aktivitasnya di Citizen Lab yang ia sebut operasi menumbuhkan para peretas.

Hacktivisme, menurut dia, dengan cepat dipahami dan diterima oleh banyak aktivis HAM arus besar. Bakan gerakan itu mendapat dukungan dari yayasan besar sekelas Soros Foundation, Markle, dan Ford Foundation. Mereka mendanai grup seperti Privattera, eRiders dan Indymedia yang menggunakan teknologi untuk membela hak-hak sipil dan HAM.

Khusus cDc dipandang unik karena ia mengembangkan reputasi tersendiri. Grup ini menggabungkan ketidaksopanan, kecerdikan dan etika. “Tentu banyak peretas di luar sana terjebak dalam aktivitas serba menggempur pemerintah dengan alat-alat 'pembunuh' mereka, namun cDc berbeda. Mereka juga mempersenjatai diri dengan pasal 19 Deklarasi HAM PBB," itulah yang membuatnya unik ujar Diebert.

Pasal itu berbunyi, “Setiap orang memiliki hak dalam kebebasan beropini dan mengutarakan pendapat; hak itu termasuk memiliki opini tanpa campur tangan dan untuk mencari, menerima informasi utuh dan gagasan lewat media apa pun, tanpa dihalangi.

Demi merealisasikan gagasan itu, cDc pun membentuk grup otonom bernama Hacktivismo. Tujuannya mengembangkan metoda yang bisa digunakan para aktivis dan memungkinkan orang mengakses dan membagi informasi yang tak disetujui oleh pemerintah.

Oxblood menekankan praktik hackvitisme mesti sejalan dengan tujuan asli  internet tanpa menghilangkan kebijaksanaan hukum internasional. Sebagai prinsip cDc pun berpegang teguh pada dua hal; bagaimana bekerja bersama para akvitis HAM dengan aman dibalik firewall nasional dan bagaimana membuat anggota tim lolos dari incaran penjara.

Sebuah gerakan

Direktur prgram HAM, Patrick Ball, dari Benetech sebuah LSM yang juga bergerak di bidang teknologi dalam masalah sosial, mengapresiasi istilah itu. Ia mendengar pertama kali dari sebuah milis pada pada musim semi 2001.

“Saya pikir itu gagasan sangat menarik, terutama di bagian teknik mencari jalan memutar untuk menghadapi kebijakan buruk rezim pemerintahan.” ujarnya. “Memang bukan gagasan baru namun orang-orang ini benar-benar mengembangkan software nyata alih-alih mengirim spam dan meledakkan asap ke udara.”

Isu hacktivisme juga menjadi agenda dalam konferensi para peretas underground terbesar dunia, Defcon pada 2001. Pada konferensi itu pula Patrick Ball membuat komentar merendahkan terhadap Slobodan Milosevic, mantan presiden Serbia dan Republik Federasi Yugoslavia.

Ball yang juga aktivis HAM kelas kakap itu pun kemudian bersaksi melawan Milosevic dalam sidang kejahatan perang yang dilakukannya di the Hague. Ketika  kubu Milosevic balik menanyai Ball, salah satu pertanyaan yang muncul ialah, “Siapa ini Dead Cow Cult?”. Pengacara Milosevic bahkan salah menyebut cDc yang seharusnya Cult of the Dead Cow.

“Dalam sumpah saat bersaksi melawan Slobo saya berkata bahwa hacktivisme ialah sebuah kesempatan bagi para programer muda untuk terlibat dan melakukan aksi sosial yang keren. Kemampuan teknis dan keingintahuan mereka bisa bermanfaat alih-alih mendatangkan masalah,” ujar Ball. “Saya sungguh mempercayai itu.”

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement