REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Era digital mendorong banyak perusahaan (brand) untuk merambah metode pemasaran digital dengan menggandeng pengimpak (influencer) yang berpengaruh di media sosial. Promosi produk melalui influencer dinilai akan terasa lebih meyakinkan dan mudah diterima oleh konsumen.
Seperti dilansir CNBC, brand di seluruh dunia menghabiskan dana miliaran dolar Amerika per tahun untuk mempromosikan produk mereka melalui influencer. Para influencer ini nantinya akan mempromosikan produk-produk bermerek melalui berbagai platform media sosial yang mereka gunakan, seperti Instagram, Snapchat, dan Youtube.
Laporan terbaru dari perusahaan keamanan siber Cheq mengungkapkan bahwa besarnya dana yang dikeluarkan brand untuk menggandeng influencer tidak sepadan dengan keuntungan atau manfaat yang diterima.
Kerugian ini timbul karena sebagian influencer melakukan kecurangan dengan cara membeli follower palsu hingga membayar bot untuk memberikan tanda suka (like) dan komentar pada unggahan mereka.
Studi yang dilakukan oleh Cheq dengan University of Baltimore mengungkapkan bahwa tahun ini diperkirakan brand dunia akan menghabiskan dana sebanyak 8,5 miliar dolar Amerika untuk melakukan pemasaran digital melalui influencer. Akan tetapi, sekitar 1,3 miliar dolar Amerika (Rp 18,5 triliun) dari dana tersebut akan jatuh pada influencer yang melakukan tindak kecurangan.
Dengan kata lain, sekitar 15 persen dari perkiraan total biaya pemasaran digital melalui influencer yang digelontorkan brand tidak tepat sasaran.
Cheq mengungkapkan bahwa memiliki pengaruh di media sosial memang menguntungkan. Cheq mencontohkan, 'micro influencer' yang memiliki 10 ribu pengikut di media sosial saja bisa mendapatkan sekitar 250 dolar Amerika (Rp 3,6 juta) untuk satu unggahan bersponsor. Angka ini dapat meningkat tiga kali lipat untuk influencer yang memiliki 1 juta hingga 2 juta pengikut.
Padahal, jumlah pengikut di media sosial tidak selalu berarti 'penjualan'. Sebagai contoh, influencer Arianna Renee yang memiliki jumlah pengikut 2,6 juta harus menghadapi kegagalan saat meluncurkan bisnis pakaian.
"Dulu Anda harus menjadi seperti Kim Kardashian atau Kylie Jenner untuk bisa menjadi influencer, sekarang ada banyak sekali influencer," jelas Chief Strategy Officer Cheq Daniel Avital.
Avital mengungkapkan bahwa temuan ini bukan berarti melarang brand untuk melibatkan influencer dalam strategi pemasaran produk.
Akan tetapi, brand harus bisa memilih influencer yang tepat dan benar-benar memiliki pengaruh ketika ingin memasarkan produk atau membangun reputasi brand. Salah satu yang perlu diperhatikan ketika memilih influencer adalah tingkat engagement dengan para pengikutnya.
CEO agensi pemasaran influencer Obviously Mae Karwowski mengatakan influencer yang memiliki tingkat engagement rendah bisa menunjukkan dua kemungkinan. Salah satunya, konten yang dibuatnya tidak begitu dipedulikan oleh para pengikutnya di media sosial. Kemungkinan lainnya adalah influencer memiliki pengikut palsu.
"Ketika seseorang memiliki 70 ribu pengikut dan mereka hanya mendapatkan 100 like dan nol komentar per unggahan, itu seharusnya sudah menjadi tanda peringatan," terang Karwowski.