REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebelas provinsi di Indonesia akan mendapat kesempatan menyaksikan gerhana matahari total (GMT) pada 9 Maret mendatang. Kesempatan ini dimanfaatkan oleh para ilmuwan sebagai lahan penelitian. Ilmuwan berbondong-bondong menggunakan momentum ini untuk mencari tahu hal-hal yang tersembunyi dari matahari. Meski terbit dan tenggelam setiap hari, objek mengenai matahari tidaklah seterang cahayanya.
Si bola panas pusat tata surya ini rupanya masih menyisakan misteri. Badan Antariksa AS (NASA) dan Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN) mengadakan kolaborasi ilmiah untuk mengamati gerhana matahari total (GMT) yang akan melintas di wilayah Indonesia. Keduanya akan melakukan kolaborasi riset di Maba, Halmahera Timur.
Bukan tanpa alasan dipilih lokasi ini. Dari proyeksi yang dilakukan oleh LAPAN, wilayah ini akan menjadi tempat terlama yang dilintasi GMT. Bulan akan mulai menutup matahari pada 08.37 WITA dan bulan akan mulai meninggalkan matahari pada pukul 11.24 WITA. Puncak gerhana akan bisa disaksikan pada 09.54 WITA dengan durasi 1 menit 36 detik.
Ilmuwan NASA Natchimuthuk Golpaswamy mengatakan, GMT menjadi satu kesempatan untuk mempelajari sisi gelap dari mahatari. Menyaksikan GMT di wilayah timur Indonesia ini cukup spesial. Semua wilayah yang pernah dilalui gerhana selalu spesial. Setiap wilayah memiliki atmosfer yang berbeda sehingga apa pun yang berhasil dipotret dari fenomena alam ini selalu spesial. Ini bisa menjadi salah satu kesempatan juga untuk mempelajari evolusi atmosfer.
“Ini kesempatan kita mempelajari sisi gelap matahari,” kata dia.
Kepala Pusat Sains dan Antariksa LAPAN Bandung, Clara Yatini, menyambut baik kolaborasi dengan NASA ini. Selain di Muba, LAPAN juga akan melakukan penelitian di Ternate. Di Ternate, LAPAN akan mempelajari efek gravitasi terhadap gerhana matahari. Menurut dia, kolaborasi dengan NASA ini merupakan kesempatan baik untuk melakukan riset bersama. Pada masa depan, dia berharap Indonesia bisa melakukan riset yang lebih baik lagi.
GMT kali ini pun spesial. Selain karena respons masyarakat yang begitu antusias menyambut fenomena ini, pada peristiwa GMT tahun ini, matahari diperkirakan berada pada aktivitas minimum atau menuju fase minimum. Ini merupakan kesempatan yang baik para ilmuwan berharap bisa mendapatkan struktur morfologi dari korona karena ukurannya kecil. Selama ini, ukuran sejati korona tidak pernah diketahui karena korona selalu membesar akibat aktivitas matahari.
Namun, masih ada satu yang mengganjal. Clara mengatakan, GMT yang akan diteliti kali ini bertepatan dengan musim hujan. Awan, mendung, atau hujan bisa jadi menjadi halangan untuk mengamati peristiwa ini. Tim pun tidak memiliki skenario seandainya cuaca tiba-tiba mendung dan mengamatan gagal dilakukan. Tim hanya berharap semua skenario yang dibuat untuk mempelajari "sisi gelap" matahari ini berjalan lancar.