Selasa 24 Oct 2017 05:37 WIB

Virus Bisa Jadi Solusi Resistensi Antibiotik

Rep: ROSSI HANDAYANI/ Red: Winda Destiana Putri
Antibiotik
Foto: pixabay
Antibiotik

REPUBLIKA.CO.ID Resistensi antibiotik, fenomena di mana bakteri berhenti merespon antibiotik tertentu, merupakan ancaman yang terus meningkat di seluruh dunia. Diperkirakan akan membunuh 10 juta orang setiap tahun pada 2050.

Saat ini memang belum mudah mengembangkan obat baru. Banyak perusahaan farmasi besar telah berhenti mengembangkan antibiotik baru, dan obat-obatan yang masih dalam pengembangan menghadapi banyak sandungan menuju persetujuan. Sehingga, beberapa produsen obat mulai beralih ke solusi lain, termasuk yang benar-benar memiliki sejarah yang cukup panjang, terapi fag.

Perawatannya terbuat dari virus pembunuh bakteri yang disebut bakteriofag, atau fag untuk jangka pendek. Ditemukan pada awal 1900-an, bakteriofag memiliki potensi untuk mengobati orang-orang dengan infeksi bakteri.

Mereka biasanya digunakan di bagian timur Eropa, dan bekas Uni Soviet sebagai cara lain untuk mengobati infeksi yang bisa diobati dengan antibiotik. Karena mereka diprogram untuk melawan bakteri, fag tidak menimbulkan banyak ancaman bagi keselamatan manusia dalam skala yang lebih besar.

"Ada potensi besar yang tidak dimiliki antibiotik biasa. Saya pikir apa yang sebenarnya harus kami kerjakan adalah bagaimana kami menyetujui perawatan medis untuk memberi ruang bagi virus yang membunuh bakteri," kata kolumnis NYT Carl Zimmer mengatakan kepada Business Insider pada 2015, dilansir dari laman Science Alert.

Percakapan tentang jalur persetujuan sudah berjalan, dengan beberapa perusahaan mulai masuk ke dalamnya. Uji coba, meskipun masih dalam tahap awal, suatu saat bisa mengubah cara menghadapi resistensi antibiotik.

Dr. Paul Grint, CEO perusahaan, AmpliPhi Biosciences, mencoba mengubah terapi fag menjadi alat yang mungkin bisa digunakan dokter bersama dengan antibiotik untuk mengobati infeksi serius. Perusahaan ini bekerja pada perawatan berbasis fag untuk mengobati Staphylococcus aureus, dan Pseudomonas aeruginosa.

"Ada kebutuhan mendesak untuk investasi lebih lanjut dalam penelitian dan pengembangan untuk infeksi resisten antibiotik termasuk TB, jika tidak, kita akan dipaksa kembali ke saat orang-orang mengkhawatirkan infeksi umum dan mempertaruhkan nyawa mereka dari operasi ringan," ujar WHO Director-General Dr. Tedros Adhanom Ghebreyesus.

Sementara terapi fag telah berlangsung selama lebih dari satu abad, Grint mengatakan masih banyak pendidikan yang perlu dilakukan untuk mendapatkan dokter dan periset terutama di Amerika Serikat. Pada Juli lalu, FDA dan National Institutes of Health mengadakan lokakarya mengenai bakteriofag, yang diikuti oleh Ampliphi dan yang lainnya.

Ada juga beberapa peneliti seperti sebuah kelompok di University of California di San Diego yang sedang meneliti terapi fag. Pada 2016 misalnya, para periset di UCSD menggunakan terapi AmpliPhi untuk merawat seorang profesor di universitas yang memiliki infeksi resistan terhadap obat.

sumber : Center
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement