REPUBLIKA.CO.ID, ULAANBAATAR — Sebuah komunitas penggembala rusa yang tinggal di pegunungan Mongolia terdampak perubahan iklim akibat pencairan es. Para peneliti meyakini lapisan es sedang mencair di Provinsi Khovsgol di barat laut Mongolia dan mengancam kehidupan masyarakat setempat. Padahal, lapisan es di daerah itu selalu ada, bahkan pada musim panas.
Dilansir dari Sciencefocus.com pada Kamis (21/11), para peneliti mengatakan lapisan yang disebut es abadi di daerah itu adalah pusat kehidupan orang-orang Tsaatan, yakni penggembala rusa tradisional di wilayah tersebut. Mereka bergantung pada daerah bersalju untuk air minum bersih dan mendinginkan diri di bulan-bulan musim panas.
Asisten profesor di jurusan antropologi di Universitas Colorado Boulder (Amerika Serikat), William Taylor mengatakan Tsaatan secara literal berada di garis depan perubahan iklim. “Mereka adalah orang-orang yang tidak berkontribusi pada masalah yang kita hadapi di dunia, tetapi mereka yang terdampak pertama,” kata Taylor.
Peneliti menyebut Mongolia terdampak pemanasan iklim pada tingkat yang melebihi rata-rata global. Suhu musim panas sudah 1,5 derajat Celsius lebih hangat dari tingkat abad ke-20 pada 2001. Pada 2018, tim peneliti internasional melakukan survei arkeologi di wilayah Ulaan Taiga di Provinsi Khovsgol. Peneliti bertemu dan berbincang dengan delapan dari 30 keluarga setempat.
Dalam wawancara itu, para penggembala menggambarkan seberapa banyak lapisan es yang mencair untuk pertama kali antara 2016 dan 2018. Kemudian, banyak yang mengeluh bahwa penurunan kualitas padang rumput baru-baru ini, menyebabkan penyakit dan kematian pada rusa-rusa.
Seorang peneliti veteriner dan pemilik Clearview Animal Hospital di Colorado Springs, AS, Jocelyn Whitworth mengatakan akses ke lapisan es sangat penting bagi kesehatan dan kesejahteraan hewan-hewan dalam banyak hal. “Kehilangan es, artinya harus kompromi kesehatan dan kebersihan rusa, dan membuat mereka lebih rentan terhadap penyakit, dan berdampak pada kesejahteraan orang-orang yang bergantung pada rusa,” ucap Whitworth.
Selain itu, para peneliti juga khawatir es yang mencair dapat memengaruhi catatan arkeologi di kawasan itu. Catatan-catatan itu biasanya diperoleh dari bahan-bahan organik yang telah disimpan di dalam es dan salju selama beberapa dekade, bahkan hingga berabad-abad.
Tim baru-baru ini melaporkan menemukan sejumlah artefak kayu, termasuk benda yang diidentifikasi penduduk setempat sebagai tiang pancing willow. Namun, pencairan es telah menimbulkan kekhawatiran bahwa benda-benda itu berisiko mengalami degradasi dengan cepat, sebagai akibat terpapar unsur-unsur tersebut.
Seorang arkeolog di Universitas Flinders, Australia, Julia Clark menegaskan bahwa arkeologi tidak bisa diperbaharui. “Setelah es mencair dan artefak ini hilang, kita tidak akan pernah bisa mendapatkannya kembali,” ujar Clark.