REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tim peneliti internasional terdiri dari ahli paleontologi dan biologi dari Universitas Göttingen, Helsinki, serta Museum Sejarah Alam Amerika di New York menemukan jamur lendir tertua, yang diidentifikasi hingga saat ini. Fosil itu berumur sekitar 100 juta tahun dan dilestarikan dengan indah dalam damar dari Myanmar.
Hasil temuan dipublikasikan dalam jurnal Scientific Reports. Cetakan lendir yang juga disebut Myxomycetes, milik kelompok yang dikenal sebagai Amoebozoa.
Amoebozoa adalah organisme mikroskopis yang hidup sebagian besar waktu sebagai sel bergerak tunggal yang tersembunyi di tanah atau di kayu yang membusuk, tempat mereka memakan bakteri. Namun, Amoebozoa dapat bergabung bersama membentuk tubuh buah yang rumit, indah, dan halus yang berfungsi membuat dan menyebarkan spora.
Karena jamur lendir fosil sangat langka, mempelajari sejarah evolusinya sangat sulit. Sejauh ini, hanya ada dua laporan yang dikonfirmasi tentang fosil tubuh buah. Temuan ini baru berusia 35 hingga 40 juta tahun. Penemuan fosil myxomycetes sangat tidak mungkin, karena tubuh buahnya sangat berumur pendek. Karena itu, para peneliti terkagum-kagum dengan rantai peristiwa yang pasti mengarah pada pelestarian fosil yang baru diidentifikasi tersebut.
“Tubuh buah yang rapuh kemungkinan besar robek dari kulit pohon oleh kadal, yang juga terperangkap dalam getah pohon lengket, dan akhirnya tertanam di dalamnya bersama dengan reptil,” kata peneliti dari Universitas Helsinki, Profesor Jouko Rikkinen dilansir di Heritagedaily.com.
Menurut dia, kadal melepaskan tubuh buah pada tahap yang relatif awal, ketika spora belum dikeluarkan. Temuan itu mengungkapkan informasi berharga tentang sejarah evolusi organisme yang menakjubkan tersebut. Para peneliti terkejut dengan penemuan bahwa cetakan lendir dapat dengan mudah diberikan pada genus yang masih hidup sampai sekarang.
“Fosil ini memberikan wawasan unik tentang umur panjang adaptasi ekologis myxomycetes,” ujar paleontolog dari Universitas Göttingen, sekaligus penulis utama penelitian itu, Profesor Alexander Schmidt.
Profesor Rikkinen mengatakan tim peneliti menafsirkan temuan itu sebagai bukti seleksi lingkungan yang kuat. Tampaknya, jamur lendir yang menyebarkan spora sangat kecil, tetapi menggunakan keuntungan dari angin. Kemampuan jamur lendir untuk mengembangkan tahap istirahat lama dalam siklus hidupnya, mungkin juga berkontribusi pada kesamaan luar biasa dari fosil dengan kerabat terdekat saat ini. n