Selasa 28 Jan 2020 10:39 WIB

Studi Ungkap Temuan Baru Terkait Meletusnya Gunung Vesuvius

Gunung Vesuvius meletus pada 79 M.

Rep: Santi Sopia/ Red: Dwi Murdaningsih
Gunung Vesuvius tampak dari Pompeii, situs arkeologi di Italia.
Foto: sapiens.org
Gunung Vesuvius tampak dari Pompeii, situs arkeologi di Italia.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Sebuah studi baru mengungkap temuan baru terkait tewasnya masyarakat saat Gunung Vesuvius di Italia meletus pada 79 M. Hingga saat ini kematian warga dianggap akibat terkena larva panas gunung dan daging mereka pun terkelupas.

Tetapi studi yang dipimpin Tim Thompson, antropolog biologi di Universitas Teesside di Inggris, mengungkap kemungkinan lain tentang akibat kematian orang-orang saat itu. Dalam sebuah studi baru, yang diterbitkan peka  ini di Jurnal Antiquity, Thompson dan rekan-rekannya menawarkan analisis dan teori baru tentang bagaimana orang-orang itu tewas.

Baca Juga

Dalam studi mereka, Thompson dan rekan-rekannya melihat dua fitur utama dari sampel tulang, yakni adanya protein yang disebut kolagen dan struktur kristal di dalam tulang. Kolagen biasanya membentuk sekitar 20 persen dari berat tulang tetapi menghilang ketika tulang dipanaskan.

Peneliti menemukan bahwa mineral kalsium yang disebut hidroksiapatif untuk membentuk sebagian besar tulang, tidak berubah seperti yang diperkirakan sebelumnya (tulang terkena panas sangat tinggi). Maka teori Thompson berlawanan dengan teori penguapan sebelumnya yang mengungkap bahwa warga tewas secara cepat akibat tubuh yang hancur karena penguapan.

"Kenyataanya jaringan lunak tidak menguap pada suhu berapa pun, tidak langsung menembus ke tulang. Saya pikir ada konsensus umum di antara yang bekerja pada tulang dan bahwa penguapan tidak terjadi," kata Thompson.

Elżbieta Jaskulska, seorang antropolog biologi di Universitas Warsawa di Polandia yang tidak terlibat dalam penelitian ini menyatakan analisa ini masuk akal. "Bayangkan saja berapa banyak otot yang Anda miliki di paha Anda. Butuh waktu untuk menguapkan [air dari] semua otot itu untuk sampai ke tulang di dalamnya," ujarnya.

Thompson dan rekan-rekannya berargumen bahwa panas dari piroklastik pertama dan terpanas akan membutuhkan waktu untuk menembus tubuh manusia. Mereka berspekulasi bahwa orang-orang tidak tewas secara langsung, tetapi lebih lama, karena sesak napas, debu dan panas yang mengganggu saluran udara.

Namun, penulis teori penguapan sebelumnya tidak sependapat oleh bukti baru Thompson. Mereka menyatakan bahwa postur tubuh, keberadaan deposit besi pada tulang, dan bukti lain tetap mendukung teori mereka.

Pekan ini, mereka bahkan menerbitkan surat di New England Journal of Medicine yang menggambarkan apa yang mereka yakini sebagai jaringan otak dari kerangka pria yang ditemukan di Herculaneum yang mengalami vitrifikasi setelah terpapar panas tinggi. Virtifikasi adalah teknologi untuk menjaga kondisi organ atau sel hidup dengan mendinginkan secara cepat dan struktur sel tetap terjaga

"Ini menegaskan bahwa orang-orang mati dengan sangat tiba-tiba," kata Pier Paolo Petrone, seorang antropolog forensik di University of Naples Federico II dan penulis utama pekerjaan itu.

Thompson setuju bahwa jaringan otak vitrifikasi adalah temuan yang menarik tetapi dia mengatakan itu adalah lompatan logis. Dia berpendapat, vitrifikasi juga terjadi dengan kontak yang lama dan panas yang lebih rendah.

Thompson adalah salah satu dari segelintir peneliti yang telah memelopori kotak peralatan teknik untuk mempelajari tulang yang terbakar atau dipanaskan. Thompson menyebutnya sebagai bioarchaeology of cremation, dan karena bidang ini telah berkembang dalam dekade terakhir. Para peneliti telah mulai mengumpulkan petunjuk penting tentang bagaimana budaya kuno hidup dan mati.

Sebagai contoh, dua tahun lalu, sekelompok antropolog dan ahli geokimia menerapkan teknik-teknik ini untuk dikremasi. Teknik ini juga memungkinkan para peneliti untuk mengumpulkan rincian tentang bagaimana ritual penguburan bervariasi dari waktu ke waktu dan di seluruh situs, serta peran yang dimainkannya dalam budaya yang berbeda.

"Dengan kemajuan metode, kita dapat mempelajari [sisa-sisa manusia] dengan cara yang baru," kata Thompson menambahkan.

Gunung Vesuvius di pantai barat Italia, pertama kali memulai gempa vulkaniknya di tahun 79 M. Letusan yang memuntahkan abu dan batu apung putih membanjiri wilayah sekitarnya, termasuk kota Pompeii yang terkenal di sana.

Beberapa jam kemudian, gunung berapi itu melonjak ke fase lain letusannya, yakni memuntahkan serangkaian awan gas dan batu beracun yang mengepul dan disebut gelombang ppiroklasti. Sebagian besar penduduk Herculaneum punya waktu untuk melarikan diri. Sekitar 340 orang tewas di boathouse sisi pantai kota dan di pantai itu sendiri.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement