Senin 03 Feb 2020 13:13 WIB

Ilmuwan Sebut Badai Matahari Hantam Bumi 25 Tahun Sekali

Badai matahari berdampak terhadap aktivitas di bumi, terutama aktivtas satelit.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Dwi Murdaningsih
Badai Matahari
Foto: NASA
Badai Matahari

REPUBLIKA.CO.ID, COVENTRY -- Gabungan tim peneliti dari Universitas Warwick dan British Antarctic Survey di Inggris menganalisis aktivitas matahari yang mendampak bumi. Riset mereka menyimpulkan bahwa badai matahari menghantam bumi setiap 25 tahun sekali di lokasi berbeda.

Badai matahari disebut juga badai geomagnetik. Fenomena itu terjadi ketika matahari mengirimkan partikel bermuatan ke luar angkasa.  Partikel tersebut dapat berasal dari lubang koronal yang memancarkan aliran angin matahari berkecepatan tinggi.

Baca Juga

Akibatnya, partikel berpotensi melesat dua kali lebih cepat dari angin matahari normal. Partikel-partikel yang mengenai magnetosfer bumi akan menyebabkan semacam badai. Sepanjang catatan sejarah, sudah ada sejumlah badai yang terindentifikasi.

Badai geomagnetik paling terkenal dan paling kuat adalah Peristiwa Carrington pada 1-2 September 1859. Fenomena itu mengacaukan sistem telegraf di seluruh Eropa dan Amerika Utara, juga membuat aurora bisa terlihat di seluruh dunia.

Catatan sejarah yang lebih baru adalah badai matahari pada 1989 di Quebec, Kanada. Terjadinya badai mengganggu sistem distribusi daya, serta menimbulkan aurora yang terlihat sepanjang bagian selatan, termasuk di negara bagian Texas.

Risiko besar dari badai matahari kini semakin meningkat karena dunia menjadi lebih terhubung secara elektronik. Satelit-satelit adalah hal yang paling rentan, terlebih masyarakat modern sangat bergantung pada perangkat tersebut.

Tim periset mengidentifikasi dua jenis badai matahari. Badai super yang berkekuatan lebih kuat rata-rata terjadi setiap 25 tahun. Sementara, badai dengan kekuatan lebih lemah tetapi masih berisiko rata-rata berlangsung setiap tiga tahun.

Hasil riset mereka telah diterbitkan di jurnal Geophysical Research Letters. Penulis utama studi, Sandra Chapman dari Universitas Warwick, tertarik menganalisis badai karena sangat perlu membuat perkiraan badai kembali terjadi.

Makalah disusun berdasarkan data medan magnet sejak 150 tahun silam. Menurut Chapman, memprediksi kemungkinan berlangsungnya badai lanjutan merupakan bagian penting dari perencanaan mitigasi untuk melindungi infrastruktur dunia.

Biasanya badai hanya berlangsung beberapa hari, tetapi akan sangat mengganggu teknologi modern. Badai super dapat menyebabkan pemadaman listrik, merusak satelit, mengganggu penerbangan, juga menyebabkan hilangnya sementara sinyal GPS dan komunikasi radio.

"Penelitian ini mengusulkan metode baru untuk mendekati data historis, untuk memberikan gambaran yang lebih baik tentang kemungkinan terjadinya aktivitas badai di masa depan," kata Chapman, dikutip dari laman Science Alert.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement