Rabu 31 Aug 2016 23:20 WIB

In Picture: Seniman Panggung Jalanan

.

Rep: Rakhmawaty La'lang/ Red: Yogi Ardhi Cahyadi

Kamal (29), pemimpin kelompok kesenian Ondel-ondel “Zein Entertaiment” putera pertama dari almarhum Pak Tarman berdarah Betawi aseli meneruskan usaha ondel-ondel Ayahnya yang berdiri sejak tahun 1980an. (FOTO : Rakhmawaty La'lang)

Sawitri (62) adalah seorang seniman Siter (kecapi jawa) asal Semarang, Jawa Tengah. Pada tahun 1990 ia merupakan salah satu personil dari kelompok campur sari ”Marsudi Iromo” (FOTO : Rakhmawaty La'lang)

Parta Wirangko (60), pendiri sekaligus pemimpin kelompok kesenian Lengger Banyumasan sejak tahun 1978 bernama “Margo Budoyo”. (FOTO : Rakhmawaty La'lang)

Sarmin (30) (kiri), mengenal kesenian Kuda Lumping dari lingkungan keluarganya, ia aktif turut serta melakoni berbagai jenis kesenian tradisional Banyumasan dengan bergabung di sejumlah grup kesenian untuk tampil pada cara-acara syukuran, mulai dari angklu (FOTO : Rakhmawaty La'lang)

Untung (25), adalah seorang seniman angklung asal Tegal, Jawa Tengah. Dengan bekal ilmu kesenian yang ia peroleh dari pengalamannya secara otodidak, ia berhasil membentuk grup angklung “Pring Muni” yang dipimpin oleh dirinya sendiri sejak tahun 2011 di Ja (FOTO : Rakhmawaty La'lang)

inline

REPUBLIKA.CO.ID, Duduk bersimpuh, seorang wanita paruh baya dalam balutan kebaya dengan fasih memetik dawai siter yang dipangkunya sambil melantunkan lagu tradisional Jawa.  Dari meja ke meja dengan sabar ia menghampiri pengujung berharap rupiah sebagai bentuk apresiasi. Demikianlah  Sawitri (62) mengisi hari-harinya sebagai seorang seniman siter jalanan.

Sosok Sawitri bukanlah satu-satunya seniman yang menggantungkan hidupnya dari berkesenian di jalanan, khususnya di Jakarta ini. Beberapa bidang seni pertunjukan lainnya seperti kuda lumping, ondel-ondel, musik kecapi, angklungan dan lain sebagainya, turut menghiasi wajah sosial Ibu Kota. Sekali pun berlatar belakang pendidikan dan keterampilan yang terbatas, mereka mampu mengemas kearifan lokal dalam kesenian jalanan sambil mengharapkan perbaikan standar hidup. 

Sebelum dikenal sebagai pengamen, para seniman ini mencari nafkah dengan bertani, berdagang, dan mengandalkan panggilan, seperti acara syukuran, panen raya, pernikahan, dan acara hajatannya lainnya. Namun, seiring waktu, daya tarik dangdut dan orgen tunggal mulai mengalihkan perhatian masyarakat sehingga permintaan tampil pun berkurang. 

Tak Pelak, keadaan ini berujung pada nasib mereka yang turun ke jalan untuk mengamen, demi memenuhi kebutuhan hidup yang juga semakin menuntut. "Kalau ada hajatan saya ngikut, kalau gak ada hajatan saya pergi ke Jakarta nyari duit," ujar Sarmin (30), salah seorang Penari Kuda Lumping Keliling. Seiring dengan dinamika para penggiatnya dan desakan ekonomi inilah, menjadikan tujuan kesenian yang awalnya bernilai sakral, perlahan berubah menjadi profan. 

Sadar akan nilai kebudayaan yang mereka bawa ketengah masyarakat, bahwa  mereka menunjukkan identitas kesenian Indonesia. Seniman berbasis kebudayaan ini, hadir untuk menetralisir stigma negatif pengamen adalah penggangu, dengan membawa citra diri lewat kualitas performanya. 

Mereka memperkenalkan keragaman kesenian Indonesia melalui kreatifitas, yang juga mereka lakukan untuk bertahan hidup. Dengan menjadikan jalanan sebagai panggung mereka, para seniman ini menarasikan harapan kepada pemerintah untuk dapat memfasilitasi kesenian nusantara. Agar tetap lestari dan tentunya terlepas dari stigma negatif sebagai pengamen jalanan adalah pengganggu ketertiban. 

sumber : Republika
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement