Senin 23 Jan 2017 18:01 WIB

Megawati dan tidak Semua Laki-Laki

Red: Muhammad Subarkah
 Presiden Jokowi melakukan pertemuan dengan  Megawati Soekarnoputri.
Foto: istimewa
Presiden Jokowi melakukan pertemuan dengan Megawati Soekarnoputri.

Oleh: Selamat Ginting, Jurnalis Senior Republika

Matahari pagi masih terasa hangat ketika kami harus meninggalkan kawasan Kebagusan, di belakang pintu timur komplek Taman Margasatwa Ragunan, Jakarta Selatan. Suara kicau burung bersahut-sahutan dengan irama dangdut yang terdengar dari radio rumah salah satu penduduk di kawasan itu.

Rombongan yang terdiri dari tiga mobil dikawal sebuah mobil jeep merah meluncur keluar dari kawasan perkampungan menuju jalan raya Ragunan. Hanya tiga mobil. Sekali lagi, hanya tiga mobil rombongan plus mobil pengawal namun selalu ketinggalan. Padahal itulah rombongan ketua umum partai oposisi di era Orde Baru.

Rombongan Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Megawati Soekarnoputri meluncur menuju Banten untuk menghadiri konferda (konferensi daerah) partai berlambang banteng hitam dengan latar belakang merah. Sementara mobil si pengawal yang selalu ketinggalan adalah mobil Mangara Siahaan, Wakil Sekjen PDI.

Saya menjadi bagian dari wartawan politik Harian Merdeka yang mengiringi kunjungan kerja politik dari putri Bung Karno tersebut pada era 1994-1996. Saat itu selain saya, ada beberapa wartawan politik Harian Merdeka yang bergantian mengikuti kunjungan Megawati, seperti: Nuah Torong, Haryono PS, Arief Gunawan, Ferilus Nawali, Darwin Panjaitan, dan Putra Nababan.

Dalam perjalanan menuju banten melalui jalan tol, rombongan beberapa kali berhenti untuk menunggu mobil jeep merah yang selalu ketinggalan. Mobil pengawal kok tertinggal terus? Itulah dinamika partai yang saat itu masih mengalami kesulitan ekonomi. Partai kismin alias miskin.

Saking miskinnya, dalam beberapa kali mengikuti kunjungan ke sejumlah daerah, kami pun mendapatkan tiket palsu. Alias tidak sesuai dengan nama. Tiket selalu atas nama anggota DPR dari PDI. Waktu itu maskapai penerbangan belum terlalu ketat dalam membuat daftar manifes penumpang. Jadilah kami anggota DPR bohong-bohongan selama di pesawat. Sok berwibawa. Hehehehe…

Saat waktunya makan pun, tidak pilih-pilih restoran. Warung seadanya pun jadilah. Biasanya yang menjadi favorit Megawati adalah warung-warung soto ayam. Di pinggir jalan, di pinggir tol dan sebaginya. Begitu juga pilihan menginapnya.

Kami wartawan rombongannya, bisa dipastikan akan ‘keleleran’. Beberapakali saya tidak dapat penginapan, kelas melati sekali pun. Pernah menginap di rumah anggota DPR asal Yogyakarta, Sutardjo Suryoguritno, lantaran tidak dapat kamar di kawasan Kaliurang.

Jadi, jangan coba-coba bawa uang 'mepet' saat liputan bersama PDI. Bisa makan enak dan tidur di tempat yang agak layak, hanya jika Taufik Kiemas turut dalam rombongan. Taufik juga cukup peduli jika hari raya tiba, baik Idul Fitri maupun Natal. Ia datang ke kantor dan sekadar memberikan THR kepada para wartawan yang kerap membantu liputan. “Untuk anakmu,” itu biasanya ucapan yang keluar dari mulut suami Megawati tersebut.

Kembali soal kunjungan ke Banten. Sesampainya di lokasi acara, dihibur tarian dan hiburan rakyat, termasuk musik dangdut. Yang agak mengejutkan terdengar syair sebuah lagu dangdut yang cukup populer kala itu.

Memang api yang kubawa

Tak sebesar harapanmu

Tapi mampu untuk menerangi

Jiwamu yang sunyi

Hari ini aku bersumpah...Akan kubuka pintu hatimu

Hari ini aku bersumpah...Izinkanlah aku untuk mencintaimu

Karena tanpamu apapun ku tak mau

Karena yang kucinta

Pasti orang yang kusayang

Tidak semua laki-laki bersalah padamu

Contohnya aku mau mencintaimu

“Lho, Mangara, iki piye?” kata Megawati kepada Mangara Siahaan, setelah mendengarkan lagu dari musuh politiknya, Basofi Sudirman. Mangara biasanya memang yang mengatur semua peralatan dan acara Megawati di sejumlah daerah.

“Sudah, Mbak. Gak apa-apa. Itu kan cuma lagu doang. Hiburan dagdut untuk wong cilik,” jawab Mangara sambil tersenyum.

Sontak saya tersenyum geli mendengar lagu dangdut yang berjudul "Tidak Semua laki-laki" itu. Lagu itu populer saat dibawakan oleh Mayjen (Purn) Basofi Sudirman, saat ia menjabat sebagai wakil gubernur DKI Jakarta. Itulah kejutan dalam belantika musik era itu.

Album pertama Basofi dengan genre dangdut, genre yang sangat merakyat dan disukai oleh banyak masyarakat, terutama kalangan bawah atau wong cilik. Boleh jadi inilah alasan yang dipilih kenapa Basofi menjadikan dangdut sebagai genre albumnya, karena posisinya sebagai wakil gubernur tentunya lebih banyak dihadapkan pada permasalahan golongan menengah ke bawah.

Lagu yang didukung musisi dan komposer dangdut, seperti Leo Waldy dan Latief Khan ini aransemennya simpel dan easy listening. Sehingga menutupi materi vokal Basofi yang sebenarnya tidak 'pas' nge-dangdut. Bahkan suaranya pun pas-pasan saja. Tidak ada yang istimewa.

Namun, lagu ini melejit menjadi hits. Albumnya laris manis di pasaran. Nama Basofi pun terangkat naik, bukan lagi sebagai politikus saja tapi juga menjadi penyanyi dangdut. Ia kemudian menjadi gubernur Jawa Timur.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement