Rabu 17 Jul 2019 02:49 WIB

Peneliti Indef Sebut Kemiskinan Turun Versi BPS tak Relevan

Penurunan kemiskinan yang dicatat BPS dinilai tidak relevan dengan di lapangan.

Red: Nur Aini
Pengamat Ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) - Aviliani
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Pengamat Ekonomi dari Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) - Aviliani

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Peneliti Indef Aviliani menyatakan, laporan yang disampaikan Badan Pusat Statistik (BPS) mengenai jumlah penduduk miskin di Indonesia pada Maret 2019 berjumlah 25,14 juta jiwa atau 9,41 persen tidak relevan dengan angka masyarakat miskin dan hampir miskin di lapangan.

"Kemiskinan kalau dilihat dari angka bisa menurun, tapi masyarakat miskin dan hampir miskin di lapangan harus dilihat karena turunnya belum signifikan," ujar Aviliani saat ditemui di sela seminar nasional yang diselenggarakan Indef di Jakarta, Selasa (16/7).

Baca Juga

Oleh karena itu, Aviliani menganggap arah kebijakan ke depan harus lebih banyak kepada insentif dibandingkan bagi-bagi uang. "Bagi-bagi uangnya cukuplah ya. Karena soal PKH, pembagian uang secara langsung tidak bisa membuat orang bergaya," ujar dia.

Aviliani melihat memang banyak sekali persiapan jangka panjang yang harus dipersiapkan oleh pemerintah. "Terutama harus lebih fokus karena kalau tidak fokus, tidak akan ada efek jangka pendek yang menyebabkan daya beli meningkat," ujar Aviliani.

Sementara, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia cukup stabil di atas 5 persen serta jumlah pengangguran menurun hingga mencatat angka paling rendah dalam 20 tahun terakhir. "Terakhir kemarin 9,4 persen," ujarnya.

Hal itu, kata dia, disebabkan karena suatu desain kebijakan menjaga harga dan mengurangi belanja sosial sehingga menciptakan pertumbuhan, terutama pada 40 persen rumah tangga miskin.

Menkeu mengatakan program Jokowi bukan program bagi-bagi uang saja, melainkan bagaimana memotong langsung tali generasi yang berpotensi miskin. "Masalah itu yang fundamental," ujar dia. Menurut Menkeu, program kerja pemerintah Jokowi adalah program jangka panjang yang hasilnya baru bisa terlihat 10-15 tahun ke depan.

Munculnya kartu Indonesia Pintar, kata dia, diperuntukkan agar jangan sampai ada anak dari keluarga miskin menjadi miskin selamanya karena tidak bisa sekolah hanya karena orang tuanya miskin. Sementara memberikan Kartu Indonesia Sehat, ujar Menkeu, agar jangan sampai ada keluarga miskin, yang menurutnya lebih sering sakit, tertinggal di belakang.

"Hasilnya tidak instan, tapi 10-15 tahun ke depan ketika anak-anak tadi masuk ke pasar tenaga kerja," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement