Kamis 19 Mar 2020 06:10 WIB

Bedanya Cinta Diri Sendiri dan Obsesi Diri

Batas mencintai diri sendiri dan obsesi diri ada kalanya bias.

Rep: Shelbi Asrianti/ Red: Nora Azizah
Batas mencintai diri sendiri dan obsesi diri ada kalanya bias (Foto: ilustrasi mencintai diri)
Foto: Pxfuel
Batas mencintai diri sendiri dan obsesi diri ada kalanya bias (Foto: ilustrasi mencintai diri)

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mencintai diri sendiri adalah hal penting, tetapi ada kalanya batasnya bias dengan obsesi diri. Psikiater Andreas Kurniawan sekaligus penulis Buku Ajar Koas Racun mengungkap perbedaan mendasar antara kedua hal tersebut.

"Batasannya memang agak kabur, tetapi sudah masuk kategori obsesi diri ketika seseorang selalu membutuhkan validasi dari orang lain dan itu membuat dia mengalami penderitaan dan gangguan fungsi sehari-hari," ujarnya.

Baca Juga

Andreas memberi contoh kasus di mana seseorang ingin selalu dilibatkan dan diperhatikan. Contoh lain, ketika seseorang mengunggah konten di media sosial dengan menyematkan keterangan tertentu dengan tujuan mendapat validasi dari warganet.

Validasi berupa pujian atau jumlah tanda suka pada foto menjadi sangat penting bagi orang tersebut. Ketika foto mendapat sedikit tanda suka atau sedikit komentar positif, orang itu menjadi terganggu dan berpikir ada yang salah dengan dirinya.

Untuk mengatasi itu, Andreas mengajak semua orang memiliki cara pandang bahwa dunia terbagi dalam dua hal. Ada sejumlah hal yang berada dalam kendali (masih bisa diubah) dan yang ada di luar kendali (perlu diterima apa adanya).

Di era media sosial, tidak jarang pula seseorang membandingkan dirinya dengan orang lain. Baik itu dari unggahan di dunia maya atau secara langsung di kehidupan nyata. Menurut Andreas, komparasi demikian tidak menjadi masalah jika sesuai porsi.

Misalnya, membandingkan diri dengan orang lain karena ingin mencontoh hal baik atau ada sisi positif yang ingin diadopsi. Sejak kecil, individu juga sudah melakukan itu, dengan menjadikan orang tua sebagai role model.

Selain mencontoh hal baik, perbandingan juga sebagai proses belajar untuk menghindarkan diri tidak mau menjadi seperti apa. Misalnya, membandingkan diri dengan seseorang supaya kita tidak memiliki karakter negatif yang dimiliki orang tersebut.

"Wajar-wajar saja membandingkan kalau itu untuk pengembangan karakter yang positif. Yang menjadi masalah, kalau membandingkan dengan harapan ingin menjadi orang lain," kata anggota Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia tersebut.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement