Jumat 10 Sep 2021 09:25 WIB

Mulai Cemas, AS Disebut akan Terus ‘Ganggu’ China

AS akan terus menggulirkan isu-isu yang bisa mengganggu pertumbuhan China.

Red: Joko Sadewo
Dosen Universitas Mathla’ul Anwar Banten, Ali Nurdin.
Foto: istimewa/doc pri
Dosen Universitas Mathla’ul Anwar Banten, Ali Nurdin.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Amerika Serikat (AS) disebut akan memainkan banyak isu untuk mengganggu pertumbuhan China. Negara ini khawatir dengan perkembangan China yang akan merongrong dominasinya dalam politik dan pertahanan dunia.

Pengamat politik, Ali Nurdin, mengatakan AS khawatir dengan China, yang dalam 20 tahun terakhir telah tumbuh menjadi salah satu negara maju dengan skala ekonomi kedua terbesar di dunia setelah Amerika Serikat.

Jika China sudah menjadi raksasa ekonomi dunia, Beijing akan semakin memainkan peran politik dan pertahanannya secara internasional. Kondisi ini jelas akan merongrong dominasi USA. "Karena itulah USA melalui berbagai cara berusaha menghambat pertumbuhan ekonomi China,” kata Ali, dalam siaran pers, Jumat (10/9).

Doktor Hubungan Internasional Universitas Padjadjaran ini, mengatakan dengan posisi seperti itu, sangat mungkin AS, berada di balik isu yang kerap memojokkan China. Termasuk memainkan isu asal muasal virus Corona dari Wuhan, Hubei, yang kembali ramai itu.

Pertumbuhan ekonomi China, menurut Ali,  rata-rata di atas 6 persen per tahun, sedangkan USA hanya berkisar 2 persen. Sehingga ada prediksi skala ekonomi China akan melampaui USA pada 2028. Melihat berbagai indikator yang ada, sangat mungkin terjadi posisi Amerika bakal tergeser dengan dominasi ekonomi Beijing tersebut.

“Kekhawatiran Amerika itu sangat jelas. Jika dengan dominasi ekonominya itu, China sampai memainkan peran politik, dan pertahanan, yang memang secara geopolitik sangat mungkin terjadi. Karena itulah berbagai cara dimainkan untuk menghambat ekonomi China,” kata Ali Nurdin, yang juga dosen Universitas Mathla’ul Anwar Banten itu.

Perang dagang antara USA dan China, menurut Ali, antara lain dipicu oleh defisit neraca perdagangan Amerika, yang jumlahnya fantastis, yaitu minus 418 miliar dolar AS pada, (2018),  344 miliar dolar AS (2019) dan 310 miliar dolar AS pada 2020.

Reaksi atas kekalahan itu,kata Ali, AS kemudian melakukan berbagai tindakan untuk mengurangi komoditas China masuk ke negaranya. Mulai dari pengenaan tarif, mengeluarkan daftar hitam perusahaan China, sampai menggagas UU yang melarang impor produk dari Xinjiang China.

Meski jumlah defisit perdagangan USA terus menurun dalam beberapa tahun terakhir, namun angka defisitnya masih cukup besar,  menurut Ali, mencapai  187 miliar dolar AS pada Januari-Juli 2021. "Ekspor China ke AS rata-rata mencapai 450 miliar dolar AS per tahun, sedangkan impor China hanya berkisar sepertiganya,” papar dia.

Hal yang selama ini jarang disebut, menurut Ali, adalah adanya investasi langsung dari USA di China.  Jumlahnya terus naik dalam 3 tahun terakhir, hingga mencapai 124 miliar dolar AS pada 2020. Selain itu, terdapat ratusan ribu warga Amerika bekerja di perusahaan-perusahaan China. Sedangkan China menanamkan investasi 40 miliar dolar AS pada 2020. "Jadi, sebetulnya kedua negara saling membutuhkan dalam konteks perdagangan dan investasi,” ungkap Ali.

Tetapi, lanjut Ali, China tidak bisa menyembunyikan kemarahannya setelah Negeri Paman Sam cenderung terus mengusiknya. Hal yang  paling mutakhir, soal isu Wuhan, Hubei, yang kembali muncul berkaitan dengan pandemi virus Corona. World Health Organization (WHO) didukung Amerika berusaha membuka kembali penyelidikan dengan alasan untuk mengusut asal muasal virus SARS-CoV-2 itu.

China tak tinggal diam dalam kasus ini. Menurut Ali, Komisi Kesehatan Nasional China (NHC), mendesak penelusuran terkait asal virus Corona yang menyebabkan pandemi Covid-19 itu diperluas ke berbagai negara, termasuk Amerika Serikat.

Menurut Ali, ini merupakan respons atas laporan intelijen AS yang dianggap tidak meyakinkan. Lembaga ini menyatakan, AS telah memobilisasi aparat intelijennya, bukannya lembaga profesional, untuk menyelidiki asal-usul virus Corona baru.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement