Selasa 27 Sep 2022 10:30 WIB

Apakah Arab Saudi Merayakan Maulid Nabi?

Pengalaman Habib Alwi Shahab merayakan Maulid Nabi di Arab Saudi.

Rep: Kurusetra/ Red: Partner
Makam Rasulullah. Peringatan Maulid Nabi Muhammad di Arab Saudi. Foto: Republika
Makam Rasulullah. Peringatan Maulid Nabi Muhammad di Arab Saudi. Foto: Republika

Makam Rasulullah. Peringatan<a href= Maulid Nabi Muhammad di Arab Saudi. Foto: Republika" />
Makam Rasulullah. Peringatan Maulid Nabi Muhammad di Arab Saudi. Foto: Republika

CERITA ABAH: Artikel ini adalah warisan berupa tuturan dari sejarawan sekaligus wartawan senior (Almarhum) Alwi Shahab kepada kami dan kami tulis ulang. Selamat Menikmati.

KURUSETRA -- Salam Sedulur... Sekitar 200 tahun lalu, tepatnya pada masa pemerintahan Inggris (1808-1816), Sir Thomas Stanford Raffles memuji kegigihan dakwah ulama Betawi. Ulama-ulama Betawi itu membangun sejumlah masjid di Jakarta yang saat ini usianya sudah puluhan bahkan ratusan tahun. Tentu saja masjid-masjid itu tidak dapat dipisahkan dari peran para ulama dan pastinya dukungan umat Islam.

Pujian ini disampaikan Raffles dalam peringatan ulang tahun Bataviasch Genoot schap, lembaga kesenian beranggotakan warga Kristen. Prihatin terhadap keberhasilan dakwah ulama Betawi -yang kala itu masih tradisional- dia meminta Bataviasch Genoot schap belajar dari mereka.

BACA JUGA: Nama Kota Tua Diganti Jadi Batavia: Ini Pintu Kecil Menuju Benteng Batavia Zaman Belanda

Masih menurut pendiri Singapura tersebut, pada awal abad ke-19 Alquran sudah menjadi bacaan di kampung-kampung. Jika kala itu dikatakan sebagian besar bangsa Indonesia buta huruf Latin, tidak demikian dengan huruf Arab Jawi yang merupakan bacaan dalam bahasa Malayu.

"Jika sukses para mubaligh ini dibiarkan, mungkin dapat menimbulkan hal-hal yang berbahaya bagi kelangsungan penjajahan," kata Raffles. Seperti layaknya meneruskan Perang Salib, sekalipun Belanda tidak sekeras Spanyol, tapi tetap menunjukkan kebencian terhadap kiai dan mubaligh.

BACA JUGA: Daendels Bangun Jalan Anyer-Panarukan, Thomas Raffles Pugar Candi Borobudur

Menurut risalah dari Rabithah Alawiyah pada 1925, pemerintah kolonial mengeluarkan peraturan yang membatasi ruang gerak terhadap pendidikan, termasuk tidak semua orang dapat memberikan pelajaran agama atau mengaji. Kebijakan ini dikeluarkan lantaran sejak kelahiran Jamiatul Khair (1905) bermunculan pendidikan Islam.

Namun, upaya pemerintah kolonial ini tidak berhasil. Buya Hamka mengibaratkan penjajah dan anak negeri sebagai minyak dan air. Meski dimasukkan dalam botol, tidak bisa bercampur.

BACA JUGA: Gus Baha Tolak Uang Sumbangan Miliaran Rupiah dari Pengusaha Arab Saudi, Ini Alasannya


Syekh Nawawi al-Bantani merupakan satu dari sekian banyak ulama Indonesia yang pernah belajar di Arab Saudi. Foto: IST
Syekh Nawawi al-Bantani merupakan satu dari sekian banyak ulama Indonesia yang pernah belajar di Arab Saudi. Foto: IST

Pada abad ke-19, banyak ulama Betawi yang belajar di Arab Saudi atau negara Arab lainnya. Keturunan Arab juga mengirimkan anaknya ke Turki pada masa Khalifah Utsmani. Waktu itu muncul Gerakan Pan Islam, yang oleh Belanda, melalui pendapat Prof C Snock Horgronje, dianggap sebagai gerakan berbahaya bagi kelangsungan penjajahan.

Pada 1939, ketika rombongan jamaah haji ke Tanah Suci, kemudian terjadi Perang Dunia II. Mereka tidak bisa pulang ke Tanah Air karena zona laut dinyatakan sebagai daerah peperangan.

BACA JUGA: Selesai Naik Haji Makan Kambing Guling dengan Raja Arab Saudi

Raja Saud memberikan izin kepada para jamaah yang tertahan akibat peperangan untuk tinggal di negaranya. Sebelumnya (sejak masa Syarif Husein), banyak warga Indonesia, termasuk ulamanya, menjadi mukmin di negara itu. Banyak ulama Betawi yang belajar pada Sayid Alawi al-Maliki, ayah dari Sayid Muhamad Muhammad al-Maliki, yang kerap berkunjung ke Indonesia sebelum wafat beberapa tahun lalu.

Ketika saya umrah pada 2002 bersama tokoh ulama dari Jakarta dan Surabaya, kami datang ke kediaman Sayid Muhammad al-Maliki, sedikit di luar Kota Makkah. Kami Shalat Maghrib hingga Isya diselingi ratiban dan pembacaan Maulid Nabi Muhammad SAW, yang sebetulnya tabu.

BACA JUGA: Selesai Naik Haji Makan Kambing Guling dengan Raja Arab Saudi

Dan yang menarik, acara ratiban dan maulid ini dihadiri sejumlah ulama dari Afrika dan negara Asia lainnya. Setelah itu, kami bersama dengan ratusan jamaah dari mancanegara makan nasi kebuli yang dihidangkan pada nampan, seperti di Majelis Taklim Kwitang atau majelis taklim lainya. (BACA JUGA: Tradisi Maulid Nabi di Majelis Habib Kwitang Bertahan Selama Hampir Satu Abad)

Di sini, saya dapati sekitar 200 pelajar dari Indonesia. Termasuk para mukimin yang telah tinggal selama puluhan tahun di Arab Saudi, menjadi warga negara kerajaan. Rupanya, Kerajaan Arab Saudi tidak menghalangi kegiatan keagamaan di Majelis Al-Maliki yang telah berlangsung sejak leluhur meski bertentangan dengan paham kerajaan.

.

TONTON VIDEO PILIHAN:

.

BACA BERITA MENARIK LAINNYA:

> Humor NU: Orang Muhammadiyah Ikut Tahlilan Tapi Gak Bawa Pulang Berkat, Diledek Makan di Tempat Saja

> Bolehkah Makan Nasi Berkat dari Acara Tahlilan? Halal Bisa Jadi Haram

> Banyak Pria Jakarta Sakit Raja Singa Gara-Gara Wisata "Petik Mangga"

> Kata Siapa Muhammadiyah tidak Punya Habib, KH Ahmad Dahlan Itu Keturunan Rasulullah

> Pak AR Salah Masuk Masjid, Diundang Ceramah Muhammadiyah Malah

> Humor Cak Nun: Soal Rokok Muhammadiyah Terbelah Jadi Dua Mahzab

.

Ikuti informasi penting seputar berita terkini, cerita mitos dan legenda, sejarah dan budaya, hingga cerita humor dari KURUSETRA. Kirim saran dan kritik Anda ke email kami: [email protected]. Jangan lupa follow juga Youtube, Instagram, Twitter, dan Facebook KURUSETRA.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement