Terkait Tumpahan Minyak Montara, Pemerintah Diminta Tegas Terhadap Australia
REPUBLIKA.CO.ID, KUPANG -- Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia (DPR-RI) mendesak pemerintahan Presiden Joko Widodo agar menerapkan diplomasi luar negeri yang tegas, efektif dan produktif terhadap Australia terkait dengan upaya penyelesaian pencemaran Laut Timor secara tuntas dan transparan.
"Kasus pencemaran Laut Timor akibat meledaknya kilang minyak Montara pada Agustus 2009, tidak bisa dipandang enteng dan perlu dituntaskan pemerintah dengan meminta pertanggungjawaban dari pemerintah Federal Australia dan perusahaan pencemar PTTEP," demikian pernyataan sikap DPR-RI yang diterima di Kupang, Selasa.
Pernyataan sikap tersebut ditandatangani oleh Ketua Komisi V DPR-RI Fari Djemin Francis dari F-Gerindra, Syahrulan Pua Sawa dari F-PAN, Sigit Sosiantomo dari F-PKS, Wilan Wandik dari F-Demokrat, Hamka B Kady dari F-Golkar, Andi Iwan D dari F-Gerindra, Ade Pratama dari F-Gerindra, Syarif Abdullah dari F-Nasdem, Nurhasan dan H Subarna dari F-Gerindra.
Dalam pernyataan sikap yang dikirimkan pula kepada Ketua Tim Advokasi Korban Tumpahan Minyak Montara, Ferdi Tanoni itu, DPR juga mendesak pemerintah untuk menyelesaian kasus pencemaran tersebut dari sisi hukum, ekonomi, sosial dan lingkungan, sehingga tidak berdampak negatif bagi hidup dan kehidupan masyarakat di Nusa Tenggara Timur.
Di samping itu, DPR juga mendesak pemerintah agar lebih bersungguh-sungguh dalam mendukung perjuangan rakyat NTT yang menjadi korban pencemaran yang tengah memperjuangkan keadilan di Pengadilan Federal Australia melalui gugatan class action kepada PTTEP.
"Pernyataan sikap ini menunjukkan bahwa DPR tegas dalam perjuangan penuntasan masalah tumpahan minyak Montara. Kemungkinan banyak anggota DPR RI yang akan menandatangani pernyataan sikap ini," kata Fary Francis.
Ia menambahkan kalangan DPR juga meminta pemerintah untuk memberikan advokasi terkait tumpahan minyak Montara, dengan mengundang masyarakat terdampak dan peneliti, terutama untuk memenangkan gugatan, atas "class action" dalam penuntasan kasus ini.
Menurut Fary, pernyatan sikap ini dilakukan setelah mencermati proses penyelesaian masalah tumpahan minyak Montana sejak tahun 2009 sampai sekarang belum tuntas, bahkan sudah menjadi persoalan yang lebih luas di luar negeri.