Renovasi Sekolah Rusak Terkendala Anggaran

Republika/Putra M. Akbar
Rehabilitasi Sekolah. Pekerja melakukan perbaikan sekolah yang rusak di SDN 04 Cawang, Jakarta Timur, Selasa (31/10).
Rep: Kabul Astuti Red: Dwi Murdaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi X dari Fraksi Partai Hanura Dadang Rusdiana mengatakan enam puluh persen sekolah di Indonesia dalam kondisi rusak, mulai dari rusak ringan sampai rusak berat. Artinya, lebih banyak siswa di Indonesia yang belajar di sekolah-sekolah rusak ketimbang sekolah yang benar-benar memadai.

Dadang mengatakan, perbaikan sekolah rusak di berbagai daerah terkendala oleh keterbatasan anggaran. Selama ini, mayoritas anggaran pendidikan sebesar 20 persen dari APBN ditransfer ke daerah. Padahal, besaran APBN terus menurun dari tahun ke tahun.

"Alokasi untuk rehab kelas itu dari tahun ke tahun terus menurun karena memang APBN kita kan dari 2015 menunjukkan penurunan terus. APBN P yang biasanya kita nambah, itu selalu berkurang," kata Dadang kepada Republika, Rabu (1/11).

Ia menyarankan adanya ruang sharing antara APBN dan APBD untuk mengatasi masalah sekolah rusak tersebut. Menurut Dadang, perlu dilakukan rapat koordinasi nasional membahas masalah sarana prasana pendidikan ini.

Dalam rapat tersebut, lanjut Dadang, nantinya bisa dirumuskan berapa sekolah yang rusak, berapa kewajiban APBN, dan berapa kewajiban pemerintah daerah. Jenjang SMA/SMK menjadi kewenangan pemerintah provinsi, sedangkan SD-SMP menjadi tugas pemerintah kabupaten/kota.

Selain pembagian tugas antara APBN-APBD, Dadang menyarankan perlu diadakan kembali kebijakan Inpres (Instruksi Presiden) seperti zaman Orde Baru. Ia melihat mesti ada strategi khusus untuk mengatasi permasalahan sekolah rusak.

"Jadi presiden langsung, bukan hanya dari Kemendikbud tapi ada intervensi presiden mengeluarkan inpres untuk mengatasi khusus sekolah-sekolah yang rusak," ujar Dadang.

Dadang menjelaskan presiden bisa melakukan intervensi, dengan melibatkan peran swasta untuk mengatasi masalah pendidikan yang satu ini. Pemerintah bisa mencari dana-dana lain di luar APBN, seperti corporate social responsibility.

Alasannya, menurut dia, berat jika pemerintah hanya mengandalkan APBN. Setidaknya, butuh waktu sampai 25 tahun agar bisa melihat anak-anak Indonesia bersekolah di ruang kelas yang benar-benar memadai.

"Kalau mengandalkan APBN itu mungkin sekitar 25 tahunan, padahal siklusnya setiap tahun ada sekolah yang rusak," ujar politisi senior dari dapil Jawa Barat II ini.









Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler