DBD di Sleman Tertinggi di Daerah Padat Penduduk

Angka bebas jentik di SLEMAN masih jauh dari ideal.

Antara/Kornelis Kaha
Sejumlah pasien penderita demam berdarah dengue (DBD) dirawat. ilustrasi
Rep: Wahyu Suryana Red: Dwi Murdaningsih

REPUBLIKA.CO.ID, SLEMAN -- Kasi Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit Menular (P2PM) Dinkes Sleman, Dulzaini mengatakan kasus demam Berdarah Dengue (DBD) banyak ditemukan di pemukiman pada penduduk. Dia mengungkapkan, kasus DBD tertinggi ditemukan di Kecamatan Sleman, lalu Kecamatan Ngaglik dan Kecamatan Prambanan.

"Utamanya, kepadatan penduduk memang berpengaruh, mobilitas penduduk sangat berpengaruh, ditambah lagi kesadaran warga dalam pengendalian jentik," kata Dulzaini.

Ia mengimbau, masyarakat harus mulai membiasakan diri melakukan pemantauan atau pemberantasan sarang nyamuk minimal tiga hari atau atau maksimal lima hari sekali. Kemudian, membiasakan menguras tempat-tempat penampungan air.

"Bak mandi harus dikuras, tempat minum burung peliharaan, dispenser, kulkas, tempat tanaman hias, memang harus dipantau terus, dibiasakan," ujar Dulzaini.

Dia mengatakan kasus DBD awal 2020 menurun dibanding 2019. Namun, dia mengingatkan, angka bebas jentik rata-rata masih belum ideal.

Ia mengatakan, pada 2019 untuk Januari saja sudah ada 109 kasus. Sedangkan, pada 2020 sepanjang Januari tercatat cuma ada 93 kasus DBD yang ditemukan di Kabupaten Sleman tanpa kasus meninggal dunia.

Kondisi serupa ditemukan untuk periode pengamatan Januari-Maret, yang mana pada 2019 jumlah DBD yang ditemukan hampir mencapai 300 kasus. Sedangkan, tahun ini, hingga 9 Maret 2020 baru tercatat 160 kasus, hampir setengahnya.

"Penurunan yang cukup lumayan, ya, tahun lalu memang tepat masuk siklus empat tahunan DBD di Kabupaten Sleman," kata Dulzaini kepada Republika.co.id, Selasa (10/3).

Dulzaini mengungkapkan, dari pemantauan lapangan yang dilakukan angka bebas jentik rata-rata memang belum bagus. Sebab, dari standar angka bebas jentik 95 persen Kementerian Kesehatan, Kabupaten Sleman baru sekitar 93 persen.

Meski begitu, Dulzaini menuturkan, dari 17 kecamatan ada saja kecamatan-kecamatan yang angka bebas jentiknya sangat bagus, bahkan mencapai 98 persen. Walaupun, biasanya ditemukan di kecamatan-kecamatan bukan benih.

"Contoh, di Turi 98 persen, Cangkringan 95 persen, Tempel I 97 persen, Tempel II 95 persen, daerah-daerah utara memang bagus," kata Dulzaini.

Menurut Dulzaini, selain bukan daerah-daerah benih, di kecamatan-kecamatan itu pemberdayaannya cukup baik. Jadi, dibandingkan kecamatan-kecamatan di selatan seperti Gamping, Sleman, atau Godean banyak sukses di bagian utara.

Sayangnya, di kecamatan-kecamatan bagian selatan yang daerahnya rendah masih ditemukan angka bebas jentik yang sangat rendah sampai 86 persen. Biasanya, kata Dulzaini, ditemukan di daerah-daerah yang padat penduduk.

Kata Dulzaini, sebagian besar kasus ditemukan di tempat-tempat kosan atau kontrakan yang tidak ada induk semang atau ditinggali pemilik kos. Di sana, banyak mahasiswa-mahasiswa yang kepedulian dan pemahaman tentang DBD rendah.

"Masih kurang sekali, misal kita lakukan uji petik, ditanya tentang DBD tidak paham, apalagi sampai langkah-langkah pengendalian, itu yang jadi pekerjaan rumah kami," ujar Dulzaini.

Baca Juga


Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler