Rupiah Makin Merosot, Krisis Moneter Terulang?

Kondisi perbankan dan korporasi saat ini lebih tertata dibandingkan dua dekade lalu.

Indrianto Eko Suwarso/ANTARA FOTO
Petugas menata mata uang dolar AS di salah satu gerai penukaran uang asing di Jakarta, Kamis (19/3/2020). Berdasarkan data kurs referensi Bank Indonesia Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR) hingga pukul 18.00 WIB nilai tukar rupiah terhadap dollar AS melemah ke posisi Rp 15.712 per dollar AS yang disebabkan sentimen negatif pandemik COVID-19. ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/hp.(Indrianto Eko Suwarso/ANTARA FOTO)
Rep: Sapto Andika Candra Red: Friska Yolandha

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pemerintah memastikan tekanan ekonomi akibat Covid-19 saat ini berbeda dengan krisis moneter yang melanda tahun 1998 silam dan krisis ekonomi pada 2008. Meskipun, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terus merosot pada Jumat (20/3) ini. Kurs tengah Bank Indonesia pagi tadi menunjukkan, nilai tukar rupiah melemah menjadi Rp 16.273 per dolar AS.

Baca Juga


Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyebutkan, kondisi perbankan dan sektor korporasi saat ini lebih tertata dibanding satu dan dua dekade lalu. Pemerintah, ujarnya, juga telah menyiapkan formula penolong untuk bisa tetap menjaga kepercayaan pasar dan stabilitas keuangan.

Sementara itu, Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menyebutkan bahwa berbeda dengan dua krisis ekonomi sepanjang dua dekade lalu, tekanan ekonomi saat ini bersifat global. Menurutnya, saat ini terjadi kepanikan oleh seluruh pasar keuangan dunia, termasuk para pemilik modal, akibat ekskalasi penyebaran Covid-19 yang berlangsung cepat.

"Sehingga dengan kondisi ini, memang investor dan pelaku pasar keuangan global melepas semua aset-asetnya yang mereka miliki, apakah saham, apakah obligasi, apakah emas, dan mereka menjualnya ke dalam bentuk dolar AS. Sehingga di seluruh dunia terjadi ketetatan dolar AS di pasar keuangan global," jelas Perry dalam keterangan pers, Jumat (20/3).

Sebagai dampak dari kepanikan pasar keuangan global ini, Indonesia pun tidak terhindarkan oleh capital outflows. Bank Indonesia mencatat hingga 19 Maret 2020, terjadi aliran modal keluar sebesar Rp 105,1 triliun secara neto. Rinciannya, Rp 92,8 triliun dari SBN yang dilepas asing secara neto dan Rp 8,3 triliun dari pasar saham.

"Memang sebagian besar capital outflow memang terjadi pada bulan maret seiring dengan ekskalasi yang sangat cepat penyebaran virus di negara maju tadi. Ini yang dihadapi seluruh dunia ada pelepasan aset keuangan dan mereka mengonversi ke dolar AS," jelas Perry.

Demi mengantisipasi tekanan moneter ini, BI pun mengambil langkah stabilisasi berupa memastikan ketersediaan suplai dolar AS, termasuk melalui intervensi baik secara tunai atau spot. BI juga memastikan pasokan valas melalui domestic non deliverable forward.

Demi menjaga nilai tukar rupiah, BI juga melakukan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) yang dilepas oleh investor asing. Tahun ini, BI sudah membeli sebesar SBN Rp 163 triliun dari pasar sekunder.

"Ini untuk menjaga mekanisme pasar secara berjalan, dan agar tidak terjadi kepanikan di pasar dan berikan confident di pasar," jelas Perry.

Indonesia, ujar Perry, juga memiliki cadangan devisa yang cukup. Per Februari 2020, cadangan devisa nasional sebesar 130,4 miliar dolar AS. BI, ujarnya, terus berkoordinasi dengan Kementerian Keuangan, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk menyusun langkah lanjutan termasuk pembiayaan untuk mendatangkan devisa.

"Fokus kami adalah menjaga confident, memastikan bekerjanya mekanisme pasar, dan menjaga kecukupan likuiditas baik rupiah maupun valas," jelasnya.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler