Kisah Flu Spanyol Tahun 1918 di Hindia Belanda (1)
Penyebaran flu Spanyol di Hindia Belanda dan ke seluruh dunia terjadi tahun 1918.
Oleh: Muhammad Subarkah, Jurnalis Republika
Inilah kisah soal pandemi virus flu yang melanda Hindia Belanda dan dunia pada tahun 1918. Meminjam istilah pakar ekonomi Rizal Ramli dalam sebuah talks show di televisi, pandemi ini seolah mengulang kisah pandemi dunia yang terkesan 100 tahun, yakni pandemi campak 1720-an, kolera 1818, flu Spanyol 1920, dan kini corona Wuhan (Covid-19) pada 2020.
Kisah ini mengutip sebuah buku bertajuk Yang Terlupakan: Pandemi Influenza 1918 Hindia Belanda. Buku ini ditulis oleh sebuah tim penyusun yang terdiri atas Priyanto Wibowo, Magdalia, lfiantri, Wahyuning, M Irsya, M Kresno Brahmantyo, Harto Yuwono, dan lainnya. Penelitian dari buku inii dlakukan berkat kerja sama Departemen Sejarah Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya UI, Unicef Jakarta, dan Komnas FBPI. Buku ini terbit pada tahun 2009.
Isi buku akan Republika.co.id muat secara serial. Isinya begini.
Awal Mula Pandemi
Pada permulaan awal abad ke-19, dunia dilanda sebuah wabah penyakit yang merenggut lebih banyak nyawa dalam waktu yang cepat dibandingkan sejarah wabah penyakit apa pun. Pada tahun 1918, sebuah wabah raya (pandemi) influenza merebak di seluruh penjuru dunia, dimulai dari Benua Eropa, lalu menyebar ke Amerika, Asia, Afrika, dan Australia. Praktis, hampir seluruh populasi dunia saat itu, yang diperkirakan mencapai 3 miliar penduduk, terkena dampak wabah raya tersebut, baik terjangkit langsung, meninggal dunia, maupun terkena dampak sosial dan ekonomi akibat pandemi.
Virus itu diperkirakan menjadi virus influenza terganas dalam sejarah manusia. Virus tersebut membunuh lebih banyak orang dalam kurun waktu kurang dari satu tahun, lebih banyak dibandingkan dengan wabah Black Death yang berlangsung selama empat tahun pada abad ke-14. Pandemi influenza membunuh lebih banyak orang dalam kurun waktu 24 pekan dibandingkan dengan penyebaran AIDS selama 24 tahun.
Perkiraan konservatif menyatakan kemungkinan 20 juga sampai dengan 40 juta orang meninggal. Bahkan, ada juga yang memperkirakan 100 juta orang meninggal. Ada yang memperkirakan sepertiga populasi dunia terjangkit influenza. Daya bunuhnya tinggi; 1 di antara 20 orang yang terjangkit meninggal dunia, delapan kali lebih ganas dibandingkan wabah flu musiman. Mereka yang tewas karena flu ini berusia sekitar 20 hingga 40 tahun.
Kebanyakan peneliti percaya bahwa pandemi influenza 1918 ini mulai menarik perhatian orang karena dianggap berasal dari Amerika Serikat. Pada bulan Maret 1918, terdapat laporan mengenai sejumlah serdadu yang terkena penyakit influenza di Fort Riley, Kansas. Dalam waktu singkat, jumlah pasien melebihi 500 orang, bersamaan dengan laporan ditemukannya gejala-gejala pneumonia atau radang paru-paru.
Pada akhir bulan itu, lebih dari 200 orang lagi dilaporkan terkena pneumonia dan lebih dari 40 orang di antaranya meninggal dunia. Pada tahun 1918, kematian yang tinggi akibat pneumonia bukanlah suatu hal yang wajar. Beberapa ahli kesehatan awalnya memperkirakan bahwa penyakit ini kemudian mulai menyebar, tidak hanya ke seluruh daratan Amerika, tetapi juga menuju ke Benua Eropa.
Penyebaran influenza ini ke Eropa diperkirakan bersamaan dengan pengiriman pasukan Amerika Serikat ke Eropa sebagai bentuk keikutsertaan mereka dalam Perang Dunia I. Penyebaran penyakit influenza ke Eropa ini dianggap sebagai gelombang pertama dari pandemi tersebut.
Namun, laporan lain yang mengatakan bahwa sebenarnya influenza H1N1-1918 ditemukan pertama kali di Eropa setelah dilaporkannya kasus influenza pada salah satu resimen tentara Amerika Serikat di Prancis pada pertengahan Mei 1918, kemudian dengan cepat menulari tentara Perancis dan Inggris. Pada bulan yang sama, wabah ini sampai di Spanyol; yang pada masa perang tersebut merupakan negara yang netral, tidak terlibat dalam perang.
Penyebutan pandemi influenza 1918 sebagai flu Spanyol disebabkan beberapa hal. Pertama, karena pada saat itu terjadi Perang Dunia I, negara-negara yang ikut berperang melakukan sensor terhadap segala pemberitaan yang dianggap dapat meruntuhkan moral pasukannya. Oleh karena itu, laporan mengenai penyakit ini tidak dengan serta-merta diberitakan kepada masyarakat umum.
Kedua, netralitas Spanyol pada Perang Dunia I menyebabkan negara tersebut tidak melakukan sensor terhadap pers sehingga publikasi mengenai wabah ini pertama kali dilakukan oleh pers Spanyol. Sejak itulah wabah ini dinamakan flu Spanyol, bukan flu Amerika--negara yang mencatat korban pertama--atau Flu Perancis--sebagai daerah yang dianggap pertama kali mencatat merebaknya wabah tersebut secara luas.
Uniknya, pandemi influenza 1918 tidak menyerang dalam satu periode. Wabah ini menyerang dalam beberapa gelombang. Gelombang pertama terjadi pada awal 1918, kemudian mereda pada pertengahan tahun. Namun, penyebarannya saat itu sudah mewabah ke seluruh wilayah Eropa. Akibat pandemi influenza ini, dalam waktu tiga bulan saja, 2,5 juta penduduk Eropa tewas.
Hingga akhir Juli, penyakit ini dilaporkan telah melanda wilayah-wilayah luar Eropa seperti Afrika Utara, Cina, India, Filipina, Selandia Baru, dan Hawai. Tiga orang pelaut Amerika yang baru pulang dari Eropa menunjukkan gejala influenza. Influenza masuk melalui Negara Bagian Massachusetts sebelum akhirnya mewabah di seluruh Amerika Serikat.
Dalam waktu yang hampir bersamaan, pada tiga pelabuhan yang jaraknya terpisah ribuan mil, diberitakan meningkatnya angka kematian penduduk. Ketiga pelabuhan itu adalah Freetown, Sierra Leone; Brest, Prancis; dan Boston, Massachusetts. Brest adalah tempat pendaratan bagi tentara Amerika. Dari sana kapal-kapal laut dapat dengan mudah dan cepat membawa virus untuk menyebar ke Amerika Utara maupun pelabuhan-pelabuhan di Afrika. Gelombang kedua dari pandemi influenza dimulai.
Di Afrika, penyebaran wabah ini terjadi dengan cepat, melalui jalur kereta api dan kapal laut. Penyakit ini diperkirakan masuk ke Afrika pada awal September. Penduduk asli Afrika menamai penyakit ini dengan berbagai sebutan.
Di daerah selatan Nigeria, penduduk menyebut wabah ini sebagai lululuku–membunuh dengan tiba-tiba. Belakangan wabah ini dikenal sebagai ajukale-Arun–wabah yang menyebar di mana-mana.
Di salah satu daerah Afrika Selatan, Bechuanaland Protectorate Tswana, disebutkan dalam sejarah lokal mereka bahwa wabah ini dikenal sebagai leroborobo atau semgamaga, yang berarti 'penyakit yang membunuh banyak orang'. Penyakit ini juga dikenal sebagai penyakit "demam tiga hari".
Di Namibia, penyakit ini dikenal sebagai kaapito hanga, yang berarti 'penyakit ini seperti peluru', datang dengan cepat. Pemberian nama atau istilah terhadap penyakit ini menunjukkan bahwa penyakit ini menimbulkan kesan yang mendalam bagi hampir setiap daerah yang diserangnya.
Jumlah total dari seluruh korban yang ada di Afrika ini tidak dapat dipastikan. Namun, berdasarkan data yang didapatkan oleh David Killingray, meskipun dia tidak menyatakan jumlah pasti dari korban pandemi di Afrika, total korban jiwa diperkirakan melebihi 1 juta orang.
Seperti yang telah disebutkan sebelumnya, penyakit ini juga menyebar ke Asia. Killingray mengatakan, "Kematian penduduk Asia akibat ketika penyakit ini sangat tinggi dan ada ketimpangan dalam pengetahuan mengenai dampak dari pandemi ini di seluruh Asia."
Artinya, sedikit sekali ditemukan catatan dan dokumen resmi yang merekam kejadian luar biasa ini. Killingray hanya menceritakan sedikit mengenai dampak pandemi di Asia. Dia menyebutkan bahwa Jepang dan Cina mencatat sedikit peningkatan kematian pada tahun 1918 dibandingkan dengan rata-rata jumlah kematian mereka.
Tidak ada data yang pasti mengenai jumlah korban di Malaysia. Hanya disebutkan bahwa terdapat laporan dari perkebunan tentang tingginya tingkat kematian dan terjadinya “malapetaka yang menakutkan” yang dapat diindikasikan sebagai pandemi influenza.
Hanya dua negara yang menjadi fokus dari makalahnya, India dan Ceylon (Srilangka). India diperkirakan merupakan daerah yang paling parah mengalami dampak pandemi. Daerah ini diperkirakan terinfeksi wabah pada September 1918. Jumlah total dari korban penyakit influenza di India diperkirakan mencapai 18 juta orang.
Sementara itu, Ceylon (Srilangka) telah terjangkiti influenza semenjak gelombang pertama pandemi. Tidak disebutkan berapa jumlah korban yang dilaporkan dari daerah ini. Kurangnya data-data dan sedikitnya penelitian mengenai wabah yang terjadi di daerah Asia, juga di Indonesia, menyebabkan ketidaktahuan yang besar bagi dunia ilmu pengetahuan akan imbas wabah penyakit ini di Asia.
***
Pandemi influenza tidak hanya menyerang daerah-daerah berpenduduk padat dan benua-benua besar, tetapi juga melanda kepulauan yang berada di tengah samudra dan bagian selatan belahan bumi. Kepulauan-kepulauan yang berada di daerah Karibia dan Pasifik juga turut merasakan imbas dari wabah influenza.
Di beberapa kepulauan tertentu, tingkat kematian mencapai 16 persen dari seluruh populasi. Hal tersebut berbeda dengan yang terjadi di Benua Australia. Otoritas Australia berhasil meredam jumlah korban akibat pandemi influenza sehingga jumlah total korban akibat penyakit ini sampai dengan musim dingin 1918 hanya mencapai 12 ribu orang.
Selain tercatat dalam sumber-sumber sejarah lokal dan tradisional, memori tentang terjadinya pandemi influenza juga terekam lewat permainan anak-anak. Sebuah permainan lompat tali melantunkan senandung yang menceritakan penyebaran influenza dengan lirik seperti dibawah ini.
I had a little bird
And its name was Enza
I opened the window
And in-flew-Enza
(Saya memelihara burung kecil
Dan namanya Enza
Saya membuka jendela
Dan terbanglah masuk Enza)
Pandemi flu juga meninggalkan jejak pada peristiwa penting dalam sejarah dunia, yakni Perjanjian Perdamaian Paris yang berhasil menghentikan Perang Dunia I. Banyak anggota delegasi dari negara-negara yang terlibat perang terjangkit flu, bahkan beberapa di antaranya meninggal.
Ketidakhadiran mereka dalam lobi dan negosiasi membuat arah perjanjian damai berubah menjadi lebih lunak. Sebelumnya, para delegasi tersebut sangat sukar menerima poin-poin perjanjian yang akan menghentikan perang antara Jerman dan negara-negara Sekutu.
Seorang peneliti, Crosby, mencatat dengan baik pengaruh-pengaruh tersebut dalam bab “Flu and The Paris Peace Conference”. Crosby berpendapat bahwa semua malaise and fatique (kelemasan dan kelelahan) yang disebabkan oleh flu berpengaruh pada hasil keputusan perjanjian damai tersebut, yang berhasil melahirkan Liga Bangsa-Bangsa.