Mengapa Ada Fatwa 'Lockdown' Masjid?

Fatwa lockdown pada masjid mesti diartikan sebagai upaya penyelamatan.

Antara/Irwansyah Putra
Ilustrasi Mengapa Ada Fatwa 'Lockdown' Masjid? Relawan Dompet Dhuafa Aceh melakukan penyemprotan cairan desinfektan di Masjid Kupiah Meuketop, Banda Aceh, Aceh, Ahad (22/32020).
Red: Hasanul Rizqa

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ustaz Fathurrahman Kamal Lc MSi*)

“Mengerikan.” Mungkin, itu menjadi kata yang mewakili perasaan galau dan was-was sebagian besar penghuni planet bumi hari-hari ini.

China, Inggris, Italia, Spanyol, Prancis, Irlandia, Elsavador, Belgia, Polandia, Argentina, Yordania, Belanda, Denmark, Malaysia, Filipina, dan Lebanon--itu semua merupakan deretan negara-negara yang mengeluarkan kebijakan demi menekan penyebaran virus korona baru (Covid-19) ini. Di antara kebijakan itu adalah dengan lockdown atau mengunci akses keluar masuk suatu wilayah.

Tak main-main. Kerajaan Arab Saudi bahkan melakukan lockdown terhadap Haramain: Masjid al-Haram dan Masjid Nabawi, dua masjid termulia di muka bumi.

Semuanya atas fatwa para ulama kredibel dan terkemuka, yang ditindaklanjuti dengan keputusan politik Kerajaan. Terakhir, saya membaca berita, India pun lockdown. Anda lebih paham dari saya: wa mā adrāka ma India? Negeri berpenduduk tak kurang dari 750 juta jiwa, kurang lebih 3 kali jumlah penduduk Indonesia. Tata kotanya ruwet, dengan persoalan sosial, agama, politik yang kompleks.

Anda tahu? "Hanya" dengan tujuh korban meninggal dunia, India menyatakan lockdown! Jika pagi ini Anda konfirmasi via WhatsApp ke Pusat Informasi Covid-19 Kemenkominfo Republik Indonesia, Anda segera mendapatkan balasan "situasi virus corona (COVID-19) 25 Maret 2020 di Indonesia: positif terjangkit virus sebanyak 790 orang; sembuh sebanyak 31 orang; dan meninggal dunia sebanyak 58 orang. Dan, Anda masih bebas ke manapun Anda suka. Dahsyat!

 

Peran ulama

Dalam suasana seperti ini, tugas para ulama (otoritas keagamaan) adalah memastikan tujuan pokok dan fundamental syariat (maqãshid syari’ah) terlaksana dengan baik, yakni "Mewujudkan maslahat dan meniadakan kerusakan" dalam kehidupan dengan "menjaga jiwa manusia" (hifdhu-n-nafsi).

Berdasarkan dalil-dalil Alquran, Hadis, pendapat para ulama terkemuka, dan kaidah-kaidah fiqhiyah, maka diterbitkanlah fatwa Tata Laksana Ibadah Umat Islam Dalam Situasi Pandemi Covid-19 ini.

Di antara konten fatwa tersebut ialah memberlakukan “lockdown” masjid, mengganti shalat Jumat dengan shalat zuhur di kediaman masing-masing, serta tidak melaksanakan kegiatan keagamaan dengan konsentrasi massa lainnya.

Namun demikian, terdapat sementara orang berpandangan, penutupan masjid dalam situasi pandemi Covod-19 bagian dari upaya "melawan perintah Allah" untuk memakmurkan masjid. Pun pula, memberikan kesan merendahkan muruah masjid karena dituduh sebagai tempat penularan virus korona. Artinya, masjid tidak bersih, tidak higienis, padahal orang-orang yang meramaikannya senantiasa berwudhu.

Apakah memang demikian?

 

Masjid: episentrum keselamatan

Baca Juga


Persoalan sesungguhhya bukanlah demikian. Jangan ada yang menuduh bahwa para ulama tidak memahami muruah dan martabat masjid.

Jangan pula dipersepsikan bahwa fatwa para ulama sedunia, termasuk di Indonesia, lemah dalil dan metode pendalilannya. Justru sebaliknya.

 

 

Para Ulama terkemuka di dunia, termasuk Indonesia, menunjukkan kepada umat bagaimana semestinya masjid berada di zona terdepan dalam mewujudkan maslahat kehidupan, dan terdepan pula dalam upaya meniadakan kerusakan atau mafsadat kehidupan secara universal.

Ustaz Fathurrahman Kamal (Ketua Majelis Tabligh PP Muhammadiyah).
 

Jangan sampai masjid-masjid kita meninggalkan jejak sejarah di kemudian hari sebagai episentrum penularan virus korona baru ini. Dengan arahan para ulama, masjid menjadi instrumen utama dalam menyelamatkan jiwa manusia.

Masjid adalah tempat bersujudnya organ paling terhormat dalam susunan anatomi tubuh manusia. Bahkan, sujud merupakan saat terdekat seorang hamba dengan Rabb-nya.

Sungguh, perbuatan yang tak seyogianya jika saat-saat kemesraan spiritual ini ternoda dengan rasa tak aman dan tak lagi nyaman bersebab was-was Covid-19 yang tak kasat mata itu. Masjid harus dijaga muruah, kesucian, dan fungsinya sebagai episentrum kemaslahatan hidup.

Biarkan sajalah mal-mal, pusat-pusat perbelanjaan, pusat-pusat hiburan dan sejenisnya dicatat oleh sejarah sebagai tempat yang justru seringkali meruntuhkan martabat kemanusiaan kita. Bahkan, tempat di mana manusia milenial saling menunjukkan eksistensi diri, kekayaan, dan kelas sosial. Wajarlah, dalam pandangan kenabian, tempat tersebut menyandang predikat tempat yang paling dimurkai Allah Ta’ala (HR Muslim).

Umat ini tak perlu menuntut agar masjid kita disamaratakan dengan mal-mal, pusat perbelanjaan, pusat-pusat hiburan tersebut--yang kemudian latah menebar status provokatif, semisal, "Mengapa masjid ditutup, tapi mal dibuka lebar?" Seraya berburuk sangka kepada para ulama penuntun umat.

 

Belajar dari sejarah

Ada baiknya, Anda bandingkan kebijaksanaan ulama terkemuka hari ini dengan catatan sejarah yang ditulis oleh Al-Imãm Al-Hãfizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalãnĩ rahimahullãh dalam kitabnya, Badzlul Ma’un fi Fadhlith Tha’un (450 hlm., di-tahqiq oleh Ahmad ‘Ishãm ‘Abd al-Qãdir al-Kãtib, penerbit Dãr al-‘Ãshimah Riyadh, Arab Saudi).

Bab V buku itu bertajuk “Hal-hal yang disyariatkan pengamalannya setelah mewabahnya Tha’un”. Di sana, beliau mengkritisi ritual doa bersama yang dilakukan oleh warga Damaskus ketika dilanda wabah Tha’un pada tahun 749 H, dan menyatakannya sebagai perbuatan bid’ah.

Menukil dari Al-Manbaji (w. 785), Ibnu Hajar mengisahkan peristiwa masa itu. Di mana,  masyarakat awam bersama para pembesar negeri keluar menuju tanah lapang untuk bermunajat dan istighatsah bersama, seperti halnya mereka menunaikan shalat Istisqa’.

Al-Manbaji mengingkari perkumpulan massa ini. Dilaporkan, jumlah penderita Thaún pun meningkat tajam setelah acara tersebut (hlm. 328-329).

Ibnu Hajar rahimahullāh melanjutkan, ketika penyakit Tha’un mulai mewabah di Mesir pada 27 Rabi’ul Akhir 833 H, jumlah penderita yang wafat tidak sampai 40 orang. Sebulan kemudian, pada tanggal 4 Jumadal Ula, setelah adanya seruan berpuasa tiga hari, masyarakat berbondong menuju tanah lapang untuk berkumpul dan berdo’a bersama. Jumlah angka kematian menjadi melonjak luar biasa. Bahkan, dilaporkan lebih dari seribu orang yang wafat setiap harinya, dan terus bertambah!

Terjadi pula polemik di antara para ulama dalam menyikapi peristiwa ini. Ibnu Hajar rahimahullah memilih untuk berdiam diri di rumahnya, dan tidak mengikuti perkumpulan massa tersebut (hlm. 329-330). Artinya, dalam bahasa kita hari ini, beliau memilih “lockdown” atau “social/phisycal distancing.”

 

Makkah pun pernah 'lockdown'

Dalam kitab ensiklopedi sejarahnya yang bertajuk Inba' al-Ghumar bi Abna' al-'Umr, Ibnu Hajar al-'Asqalani mencatat peristiwa wabah penyakit yang melanda Makkah pada tahun 827 H. Wabah itu menelan korban meninggal dunia sebanyak 40 orang setiap harinya. Jumlah korban pun mencapai sebanyak 1.700 jiwa.

Pada masa itu, masjid-masjid di Makkah al-Mukarramah, termasuk Masjid al-Haram ditutup. Di antara sebab mengapa kaum Muslimin tidak mendatangi masjid ialah, karena kekhawatiran terjadinya penularan penyakit.

Jauh sebelumnya, Ibnu ‘Idzãrĩ al-Marakisyĩ (w. 695), dalam kitabnya al-Bayãn al-Mughrib fĩ Akhbãr mulũk al-Andalus wa-l-Maghrib menulis, pada tahun 395 H telah terjadi wabah penyakit yang sangat dahsyat di negeri Tunis.

Harga-harga melompat tinggi, krisis bahan makanan pokok, masyarakat sibuk dengan urusan penyakit dan kematian. Bahkan, masjid-masjid di kota al-Qayrawan kosong, tak didatangi umat.

Sementara di Andalusia, sebagaimana dicatat oleh Imam Al-Dzahabi dalam kitabnya Tãrikh al-Islãm; pada tahun 448 H telah terjadi kekeringan yang sangat dahsyat dan wabah penyakit sehingga banyak orang meninggal dunia, khususnya di kota Sevilla. Masjid-masjid di sana pun ditutup.

Disebutnya pula dalam kitab Siar A’lãm al-Nubalã’, pada tahun yang sama peristiwa semacam itu terjadi pula di Kordoba. Masjid-masjid ditutup. Tahun tersebut dikenal dengan “Ãm al-Jũ’ al-Kabĩr” (Tahun Kelaparan yang Besar).

Catatan-catatan sejarah yang saya nukil di atas sekedar seruan agar kita tidak “kuper historis”, lalu hanya dengan beberapa status yang berseliweran di sosial media dengan mudahnya kita merendahkan fatwa para ulama yang kredibel. Ini bukan saja di Indonesia, tetapi juga seluruh dunia.

Satu lagi. Tak perlu reaktif menuntut persamaan antara masjid dan mal atau sejenisnya. Sebab, seorang Muslim yang cerdas tentu memiliki logika yang sehat: jika masjid saja lockdown, apalagi mal dan pasar! Kecuali, ke dua tempat itu untuk sedekar memenuhi hajat dasar: sandang, pangan, dan papan.

Wallãhu A’lamu bish-shawãb.

 

*) Ustaz Fathurrahman Kamal Lc MSi merupakan Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah. Alumnus Universitas Madinah itu kini juga merupakan dosen pada Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY).

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler