Misinformasi dalam Penanganan Wabah Corona
Misinformasi terjadi dalam penanganan wabah virus corona
REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Trimanah MSi*
Dunia saat ini sedang dihadapkan pada satu permasalahan bersama, yaitu pandemi virus corona atau covid-19. Hampir semua pemerintahan di semua Negara berkejaran dengan waktu dalam penanganan penyebaran dan pengobatan atas wabah ini.
Cepat dan lambatnya mengambil keputusan akan berdampak pada banyak hal, bukan hanya pada aspek kesehatan tetapi juga pada aspek sosial ekonomi.
Indonesia adalah salah satu begara yang terlambat mengambil tindakan dalam mendeteksi kedatangan virus ini. Virus ini dianggap tidak jauh berbeda dengan virus atau penyakit lain, sehingga tidak ada persiapan khusus yang dilakukan untuk menyambut wabah ini.
Narasi-narasi yang dikeluarkan oleh pemerintah seolah-olah memberikan ketenangan pada masyarakat. Di tengah kekhawatiran pemerintahan di banyak negara atas virus ini, pemerintah Indonesia masih tenang-tenang saja, bahkan melakukan strategi aji mumpung.
Mumpung negara-negara lain sedang sibuk menghadapi corona dan banyak yang membatasi kedatangan warga asing ke negaranya, Indonesia justru menggencarkan promosi pariwisata dengan memberikan diskon tiket dan hotel.
Bahkan anggaran sebesar Rp 72 miliar disiapkan oleh pemerintah untuk mendukung program ini. Menteri pariwisata percaya diri, Indonesia akan aman dari corona, sebab ia percaya oleh pernyataan menteri kesehatan yang mengatakan bahwa “kita sudah punya alat yang sama seperti di Amerika untuk mendeteksi gejala virus corona”.
Tak sampai satu minggu sejak pernyataan Menkes itu, Presiden Jokowi mengumumkan dua kasus pertama corona di Indonesia pada tanggal 2 Maret 2020. Orang yang pertama kena adalah warga Negara Indonesia, bukan warga Negara asing yang terdeteksi oleh alat sebagaimana disampaikan oleh Menkes.
Dua WNI ini terpapar virus dari WN Jepang yang tinggal di Malaysia. Selama di Indonesia, dia tidak terdeteksi sebagai carrier atau transmitter virus corona. WN Jepang ketahuan positif corona setelah dia kembali ke Malaysia, terdeteksi di Malaysia.
Bukan di Indonesia. Jadi, alat pendeteksi corona yang disebut sama dengan punya Amerika oleh Menkes, tidak berfungsi mencegah masuknya virus ini lewat WN Jepang itu ketika dia ke Indonesia.
Tulisan ini tidak bermaksud membahas bagaimana virus ini masuk ke Indonesia. Tetapi akan mempersoalkan bagaimana penggunaan ketidak akuratan informasi sebagai landasan membuat suatu kebijakan dan program membawa pada permasalahan besar.
Menteri Pariwisata mungkin merasa tidak enak hati sekarang ini. Belum lama melayani pertanyaan wartawan tentang program pariwisata dan kucuran dana Rp 72 miliar, sekarang Indonesia dihadapkan pada situasi darurat corona.
Ini terjadi karena Menteri Pariwisata mendapatkan informasi yang tidak tepat, justru dari orang yang dianggap paling tepat.
Misinformasi terjadi bila informasi yang disampaikan salah atau tidak benar, tetapi si pemberi informasi merasa bahwa informasi yang disampaikannya benar.
Tujuan Menkes mungkin saja baik, yaitu untuk memberikan ketenangan dan membantu mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pariwisata.
Tetapi informasi itu menyesatkan dan berakibat fatal. Memicu terjadinya krisis, yaitu suatu kejadian yang dapat menimbulkan ancaman baik dari sisi finansial dan juga reputasi.
Dari sisi finansial, jangan ditanya, bagaimana pusingnya Menteri Keuangan mencari solusi agar Indonesia bisa bertahan dalam menghadapi wabah ini. Dari sisi reputasi, kita lihat sekarang.
Pemerintah Indonesia sedang menjadi perbincangan masyarakat nasional dan internasional. Yang diperbincangkan adalah lagi-lagi mengenai misinformasi. Bagaimana pemerintah mengalirkan informasi-informasi ke publik melalui media seperti tanpa kendali. Kebenaran informasi tidak menjadi pertimbangan utama.
Misinformasi terjadi di banyak tempat. Satu hari Menteri A berbicara apa, tak berselang lama diluruskan atau dibantah oleh Menteri lainnya. Lain hari pejabat B ngomong apa, tak menunggu lama pejabat lainnya membantahnya.
Entah sudah berapa banyak misinformasi terjadi selama masa pandemi corona ini. Komunikasi publik pemerintah betul-betul seperti tanpa ada yang mengatur, liar. Masyarakat sulit membedakan mana informasi yang benar dan mana yang tidak benar, semuanya berasal dari sumber yang sama, pemerintah.
Jelas kelihatan sekali, tidak ada collaborative leadership di level atas, dan ini berdampak pada kacaunya komuniksi publik. Semua orang yang merasa memiliki kewenangan berbicara, walaupun sebetulnya tidak memiliki kapasitas. Everyone just talk and talk, but not actually communicating.
Kalau wabah corona ini masuk kedalam bencana nasional, maka seharusnya manajemen komunikasinya-pun mengikuti prosedur komunikasi kebencanaan.
Sekarang kita punya Gugus Tugas Covid 19 yang diketuai oleh Kepala BNPB, dan kita juga punya Juru Bicara Percepatan Penanganan Covid-19. Keduanya harusnya menjadi simpul lalu lintas komunikasi antara pemerintah dengan publik.
Dua orang ini (kepala Gugus Tugas dan Juru Bicara) harus diberi kesempatan yang proporsional untuk menjadi spokesperson yang baik, penyambung lidah pemerintah dalam menginformasikan apapun terkait wabah corona.
Semua pejabat yang merasa perlu menyampaian informasi mengenai corona dan cara penanganannya kepada publik seyogyanya mendeliver informasi itu kepada dua orang ini untuk diolah kembali menjadi informasi yang betuk-betul valid dan kredibel, yang mudah dipahami dan diterima publik tanpa keraguan.
Dengan demikian akan kecil sekali potensi misinformasi dan mispersepsi atas informasi yang disampaikan. Disitulah dibutuhkan leadership collaborative. Bukan semuanya mau tampil dan mau ngomong, tapi malah ujung-ujungnya kosong.
Dengan adanya leadership collaborative akan kelihatan kekompakan pemerintah dalam menghadapi wabah ini. Kekompakan itu akan memiliki dampak psikologis bagi publik.
Publik akan terstimuli untuk mendukung kebijakan, program dan langkah yang diambil pemerintah. Mereka akan respect. Mereka akan memberikan umpan balik yang positif.
Komunikasi publik pemerintah bukan hanya melalui pesan verbal yang disampaikan, tetapi juga melalui pesan komunikasi non verbal yang dapat ditangkap oleh publik melalui sikap dan tindakan para pejabat, para menteri, para juru biara, yang mewakili pemerintah.
Dukungan publik adalah kunci keberhasilan menghadapi Corona. Untuk itu, jangan sesatkan publik dengan misinformasi dan jangan tumbuhkan rasa apriori publik kepada pemerintah melalui sikap, tindakan dan perilaku para pejabat yang mentasnamakan pemerintah.
* Dosen Ilmu Komunikasi Unissula Semarang/Mahasiswa Program Doktor Ilmu Komunikasi Usahid Jakarta