RUU Cipta Kerja Bisa Disetop di Tengah Jalan
Fraksi di DPR memiliki hak politik untuk tidak ikut serta atau hadir dalam pembahasan
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Politikus PPP Arwani Thomafi merespons perdebatan terkait bisa tidaknya Rancangan Undang-undang Cipta Kerja (RUU Ciptaker) yang sudah masuk dalam pembahasan tingkat pertama dihentikan selain oleh pihak pengusul yaitu presiden. Ia menilai penghentian RUU Cipta Kerja bisa dilakukan melalui hak politik yang dimiliki masing-masing pihak sebagai perumus UU, yaitu fraksi-fraksi di DPR.
"Dalam konteks ini, fraksi-fraksi di DPR memiliki hak politik untuk tidak ikut serta atau hadir dalam pembahasan sebuah RUU," kata Arwani dalam keterangan tertulisnya, Kamis (23/4).
Ia pun mencontohkan pengalamannya sebagai Ketua Pansus RUU Larangan Minuman Beralkohol. Sikap politik pemerintah yang tidak hadir dalam beberapa kali kesempatan rapat akhirnya menjadikan RUU Larangan Minuman Beralkohol ini urung dibahas dan disahkan.
"Ada juga RUU Pertembakauan, RUU Wawasan Nusantara dll. Jelas sekali bahwa Praktek tersebut ada presedennya dan hal yang lazim saja," ujarnya.
Ia menjelaskan ada tiga dasar ketidakikutsertaan dalam pembahasan sebuah RUU, pertama yaitu tentu aspirasi dari publik, kedua urgensi pembahasan, serta yang ketiga yaitu momentum. Ketiga hal tersebut menurutnya cukup menjadi alasan bagi DPR sebagai wakil rakyat untuk menunda pembahasan RUU Cipta Kerja.
"Jadi, tidak semata-mata urusan teknis-prosedural semata. Apalah makna teknis-prosedural namun justru mengenyampingkan hal yang substansial yakni aspirasi, urgensi dan ketiadaan momentum," jelasnya.
Menurutnya situasi dan momentum saat ini tidaklah tepat membahas RUU Ciptaker. Namun, jika situasi dan momentum dinilai sudah tepat paska penanganan bencana nasional Covid-19 ini, maka semua stakeholder dapat kembali duduk bersama membahas substansi RUU Cipta Kerja.