Polemik Sinar Matahari Pengaruhi Tumbuh Kembang Corona

Paparan sinar matahari tinggi kembali disebut bisa membunuh virus corona jenis baru.

Antara/Jessica Helena Wuysang
Bupati Kubu Raya Muda Mahendrawan (kedua kanan) didampingi Kapolres Kubu Raya AKBP Yani Permana (kanan) saat memimpin rapat gugus tugas percepatan penanganan virus COVID-19 di halaman Kantor Bupati Kubu Raya, Kalimantan Barat, Kamis (2/4/2020). Muda Mahendrawan menyatakan Ia menggelar rapat penanganan virus COVID-19 di halaman kantor tersebut sambil berjemur di bawah sinar matahari pagi guna meningkatkan imunitas tubuh di tengah pandemi virus corona.
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Puti Almas, Antara

Polemik mengenai kekuatan sinar matahari dan kemampuannya membunuh virus corona jenis baru kembali mengemuka. Kali ini Presiden Joko Widodo mengungkapkan keampuhan sinar matahari melenyapkan Covid-19.

Ia menilai berdasarkan penelitian, semakin tinggi temperatur dan kelembapan udara serta adanya paparan sinar matahari langsung akan memperpendek masa hidup virus corona. Ucapannya berdasarkan pernyataan pejabat Department of Homeland Security pemerintah Amerika Serikat.

"Semakin tinggi temperatur, semakin tinggi kelembapan, dan adanya paparan langsung sinar matahari akan semakin memperpendek masa hidup virus Covid-19 di udara dan di permukaan yang tidak berpori, berita ini sangat menggembirakan bagi Indonesia," kata Presiden Jokowi di Istana Merdeka Jakarta, Jumat (24/4).

Indonesia menurut Presiden adalah negara yang beriklim tropis dengan suhu yang panas, udara lembap, dan kaya sinar matahari. Namun Presiden Jokowi mengingatkan agar masyarakat tidak lupa dengan protokol pencegahan Covid-19.

"Namun demikian, jangan lupa protokol pencegahan penularan Covid-19 harus terus kita jalankan secara disiplin dengan disiplin yang kuat," ungkap Presiden.

Sebelumnya Menteri Koordinator Maritim dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan juga menyebutkan posisi Indonesia saat berhadapan dengan corona lebih menguntungkan karena memiliki cuaca panas. Kondisi tersebut membuat virus corona semakin lemah namun harus didukung dengan kesadaran masyarakat agar tidak melakukan mudik.

"Tapi kalau jaga jarak tidak dilakukan, itu (kondisi cuaca Indonesia yang menguntungkan)  juga tidak berarti. Sekarang ini tinggal tergantung kita. Kita yang mau bagaimana," jelas Luhut.

Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump dikutip hari ini mengatakan disinfektan dan sinar matahari mungkin dapat digunakan sebagai perawatan untuk menangani infeksi virus corona. Trump mengatakan para peneliti sedang melihat efek dari desinfektan dan berpikir apakah ini dapat disuntikkan ke orang-orang.

Meski demikian, William Bryan dari Departemen Keamanan Dalam Negeri AS mengatakan studi yang pernah dilakukan sebelumnya tidak menemukan bukti bahwa suhu yang lebih hangat dan kelembaban yang lebih tinggi di musim semi dan musim panas akan membantu mengurangi penyebaran virus corona jenis baru. Namun, dari penelitian terbaru ditemukan bahwa cahaya matahari memiliki efek yang kuat dalam membunuh virus di permukaan dan di udara.

Lebih lanjut Bryan mengatakan para ilmuwan telah melihat efek serupa dari suhu dan kelembaban yang lebih tinggi. Laboratorium biocontainment di Maryland juga sudah melakukan pengujian terhadap virus tersebut sejak Februari lalu.

“Virus ini berada dalam kondisi sekarat dengan paparan suhu yang lebih tinggi dan dari paparan kelembaban,” ujar Bryan, dilansir The Telegraph pada Jumat (24/4).

Bryan mengatakan dengan lebih banyak pengetahuan terkait hal tersebut, ini dapat membantu banyak gubernur di AS membuat keputusan tentang bagaimana dan kapan akan membuka kembali perekonomian di negara-negara bagian. Namun, ia menekankan bahwa hasil yang muncul dari studi bukan berarti bisa menggantikan rekomendasi soscial distancing yang diterapkan untuk mencegah penyebaran Covid-19.

Trump juga telah mendapat banyak pertanyaan tentang apakah berbahaya membuat orang berpikir bahwa mereka akan aman dengan pergi ke luar di tengah cuaca yang panas. Hal ini mengingat banyak orang telah meninggal di Florida akibat Covid-19.

"Saya di sini untuk menyajikan ide-ide, karena kami ingin ide-ide untuk menyingkirkan masalah ini. Dan jika panas baik, dan jika sinar matahari baik, itu adalah hal yang hebat sejauh yang saya ketahui," kata Trump.

Pada awal April, para penasihat di bidang ilmiah mengatakan kepada Gedung Putih belum ada bukti yang baik bahwa panas dan kelembaban musim panas akan mengendalikan virus corona jenis baru. Terlebih, jika  langkah-langkah kesehatan masyarakat tidak dilanjutkan.

Para peneliti dari National Academies of Sciences, Engineering and Medicine menganalisis studi yang dilakukan sejauh ini untuk menguji ketahanan virus di bawah kondisi laboratorium yang berbeda serta melacak di mana dan bagaimana virus corona jenis baru telah menyebar.

"Mengingat bahwa negara-negara yang saat ini berada dalam iklim 'musim panas', seperti Australia dan Iran, mengalami penyebaran virus yang cepat, penurunan kasus dengan peningkatan kelembaban dan suhu di tempat lain tidak boleh diasumsikan," tulis para peneliti.

Selain itu, laporan tersebut mengutip kurangnya kekebalan global terhadap virus baru dan menyimpulkan jika ada efek suhu dan kelembaban pada penularan, mungkin tidak sejelas virus pernapasan lainnya yang setidaknya sudah ada. Para peneliti mencatat bahwa selama 10 pandemi flu sebelumnya, terlepas dari musim apa yang mereka mulai, semua memiliki gelombang kedua puncak sekitar enam bulan setelah virus pertama kali muncul.

"Kita harus berasumsi bahwa virus akan terus memiliki kapasitas untuk menyebar dan itu adalah harapan palsu untuk mengatakan ya, itu hanya akan menghilang di musim panas seperti influenza,” ujar Michael Ryan, ketua kedaruratan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika Dwikorita Karnawati juga pernah menyampaikan hasil kajian lembaganya tentang pengaruh iklim dan cuaca terhadap tumbuh kembang virus corona. Rita mengatakan BMKG mengkaji variabel tumbuh kembang virus corona dengan cuaca dan iklim bersama 11 doktor meteorologi, klimatologi, matematik beserta ilmuwan kedokteran, mikrobiologi, kesehatan dan pakar lainnya.

Kajian itu berdasarkan analisis statistik, pemodelan matematis dan studi literatur tentang pengaruh cuaca dan iklim dalam penyebaran Covid-19. Hasil kajian, kata dia, menunjukkan adanya indikasi pengaruh cuaca dan iklim dalam mendukung penyebaran wabah Covid-19 sebagaimana disampaikan dalam penelitian Araujo dan Naimi (2020), Chen et. al. (2020), Luo et. al. (2020), Poirier et. al. (2020), Sajadi et.al (2020), Tyrrell et. al (2020) dan Wang et. al. (2020).

"Dari hasil penelitian tersebut dapat disimpulkan sementara bahwa negara-negara dengan lintang tinggi cenderung mempunyai kerentanan yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara-negara tropis," kata dia.

Kemudian, lanjut dia, penelitian Chen dan Sajadi menyatakan bahwa kondisi udara ideal untuk virus SARS-CoV-2 adalah temperatur sekitar 8-10 derajat Celcius dan kelembapan 60-90 persen. Rita mengatakan, para peneliti menyimpulkan bahwa kombinasi dari temperatur dan kelembaban relatif cukup memiliki pengaruh dalam penyebaran transmisi Covid-19.

Selanjutnya penelitian oleh Bannister-Tyrrell et. al. (2020) juga menemukan adanya korelasi negatif antara temperatur di atas 1 derajat Celcius dengan jumlah dugaan kasus Covid-19 per hari.

"Mereka menunjukkan bahwa bahwa Covid-19 mempunyai penyebaran yang optimum pada suhu yang sangat rendah 1–9 derajat Celcius. Artinya semakin tinggi temperatur, maka kemungkinan adanya kasus Covid-19 harian akan semakin rendah," kata dia.

Sementara itu, kata dia, Wang menjelaskan pada kondisi udara dingin dan kering dapat juga melemahkan kekebalan seseorang dan mengakibatkan orang lebih rentan terhadap virus. Araujo dan Naimi, kata Rita, melalui model matematis yang memasukkan kondisi demografi manusia dan mobilitasnya menyimpulkan bahwa iklim tropis dapat membantu menghambat penyebaran virus tersebut.

Iklim tropis, kata dia, membuat virus lebih cepat menjadi tidak stabil sehingga penularan virus corona dari orang ke orang melalui lingkungan iklim tropis cenderung terhambat.

"Kondisi cuaca/iklim serta kondisi geografi kepulauan di Indonesia, sebenarnya relatif lebih rendah risikonya untuk berkembangnya wabah Covid-19," katanya.

Ia mengatakan faktor penularan di Indonesia diduga akibat faktor mobilitas manusia dan interaksi sosial daripada faktor cuaca dalam penyebaran wabah Covid-19 di Indonesia.

"Akhirnya laporan Tim BMKG-UGM merekomendasikan berdasarkan fakta dan kajian terhadap beberapa penelitian sebelumnya, bahwa apabila mobilitas penduduk dan interaksi sosial ini benar-benar dapat dibatasi, disertai dengan intervensi kesehatan masyarakat maka faktor suhu dan kelembapan udara dapat menjadi faktor pendukung dalam memitigasi atau mengurangi risiko penyebaran wabah tersebut," katanya.

Hingga Jumat (24/4), jumlah positif Covid-19 di Indonesia mencapai 8.211 kasus dengan 1.002 orang dinyatakan sembuh dan 689 orang meninggal dunia. Jumlah pasien dalam pengawasan (PDP) mencapai 18.301 orang dan orang dalam pemantauan (ODP) berjumlah 197.951 orang.

Kasus positif Covid-19 ini sudah menyebar di seluruh 34 provinsi di Indonesia dengan daerah terbanyak positif yaitu DKI Jakarta (3.599), Jawa Barat (862), Jawa Timur (690), Sulawesi Selatan (420), Jawa Tengah (575), Banten (359), Bali (177), Papua (136), Kalimantan Selatan (132), Nusa Tenggara Barat (153), Sumatera Selatan (106), Sumatera Utara (96).

Berdasarkan data dari situs Worldometers, hingga Jumat (24/4) siang terkonfirmasi di dunia ada 2.737.866 orang yang terinfeksi virus corona dengan 191.423 kematian sedangkan sudah ada 752.284 orang yang dinyatakan sembuh. Kasus di Amerika Serikat mencapai 886.709 kasus, di Spanyol 213.024 kasus, di Italia 189.973 kasus, di Prancis 158.183, di Jerman sebanyak 153.215, Inggris sebanyak 138.078, di Turki 101.790 dan di Iran 87.026.

Jumlah kematian tertinggi bahkan saat ini terjadi di Amerika Serikat yaitu sebanyak 50.243 orang, disusul Italia yaitu sebanyak 25.549 orang, Spanyol sebanyak 22.157 orang, Prancis sebanyak 21.856 orang, Inggris sejumlah 18.738 orang kemudian Belgia sebanyak 6.679 orang. Saat ini sudah ada lebih dari 213 negara dan teritori yang mengonfirmasi kasus positif Covid-19.

Baca Juga


Kacamata kerap berembun saat orang memakai masker. - (Republika)





Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler