Bogor Kembali Minta Penyetopan KRL
Bogor anggap penyetopan KRL jadi opsi paling ideal cegah penularan corona.
REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Pemerintah Kota dan Kabupaten Bogor mengingatkan pemerintah pusat mengenai kebijakan operasional KRL kereta rel listrik (KRL) commuter line. Pemerintah Bogor meminta Kementerian Perhubungan (Kemnhub) untuk kembali mempertimbangkan penghentian operasional KRL sementara waktu.
"Jadi kuncinya adalah harus ada evaluasi kebijakan. Kalau di dalam kereta bisa atur, tapi kalau mengantrinya ini sulit diatur, personil terbatas. Jadi opsinya paling ideal adalah setop total," kata Wali Kota Bogor Bima Arya Sugiarto di Kota Bogor, Senin (4/5).
Berdasarkan pemantauan di Stasiun Bogor, Bima menjelaskan, penumpang telah mengalami penurunan yang cukup signifikan. Apalagi, saat pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) penurunan mencapai 60 persen dari jumlah normal.
"Tapi 40 persen sisanya ini orang-orang yang bekerja di sektor dikecualikan, ada bank, mini market, logistik dan sebagainya," ucap dia.
Bima menjelaskan, pihaknya juga mengusulkan sejumlah alternatif bila KRL dihentikan. Pertama, perusahaan yang masih mempekerjakan karyawannya, menyediakan sara transportasi antar jemput.
Kedua, dengan cara memperketat penjagaan dan pengecekan penumpang di stasiun. Namun, Bima mengetakan, pengetatan penjagaan di stasiun sulit untuk dilakukan apabila sudah terjadi penumpukan penumpang.
"Lalu, evaluasi layanan, gerbong dan jadwalnya. Kalau menang tidak mau disetop total ya harus ada, bagaimana caranya pagi itu tidak 40 persen. 40 persen itu disebar. Intinya harus dievaluasi. Idealnya disetop," tegas Bima.
Berdasarkan kajian epidemiologi, Bima mengatakan pasar dan stasiun menjadi lokasi yang paling rawan terhadap persebaran Covid-19. Apalagi, persebaran itu disebarkan oleh orang tanpa gejala.
"Makanya kerja keras kita di PSBB ini adalah stasiun dan pasar," kata Bima.
Bima menyatakan, lima kepala daerah dari Kabupaten dan Kota Bogor, Kota Depok, Kabupaten dan Kota Bekasi (Bodebek) telah meminta untuk menghentikan operasional KRL namun mendapat dukungan dari pemerintah pusat. Oleh karena itu, Bima mengatakan akan kembali membahas bersama lima kepala daerah.
"Kemarin kita koordinasikan di WAG (WhatsApp group) lima kepala daerah, kita akan buat lagi surat secara detail membuat opsi-opsi tadi untuk dibahas oleh Kementerian," jelas Bima.
Bupati Bogor Ade Munawaroh Yasin menyatakan transportasi publik, khususnya KRL memiliki potensi untuk menyebarkan Covid-19 melalui OTG. Karena itu, dia berharap, pemerintah pusat dapat mempertimbangkan kebijakan untuk menghentikan operasional KRL sementara.
"Saya meminta kepada pemerintah pusat untuk membuat kebijakan yang tepat dan ketat terkait pengaturan jam operasional KRL," kata Ade.
Sebagai penyangga ibu kota, Ade menjelaskan, angka persebaran Covid-19 di Bogor juga dipengaruhi oleh DKI Jakarta. Jangan sampai, KRL menjadi episentrum OTG di Kabupaten Bogor.
"Ini bisa menihilkan upaya-upaya pencegahan kita selama ini," tegas Ade.
Ade mengakui, keputusan untuk mengoperasionalkan maupun menghentikan KRL menjadi wewenang pemerintah pusat. Kalaupun tak mau menuruti rekomendasi dari lima kepala daerah, Ade meminta, pusat menyiapkan pendataan terhadap penumpang KRL atau membuat ID Card. Sehingga, tak semua orang dapat menggunakan KRL selama PSBB.
Terlebih lagi, jika terjadi persebaran Covid-19 dari pelacakan OTG dapat dilakukan melalui ID Card. "Tentunya pembatasan penumpang harus diperketat atau seleksi dengan menunjukan kartu identitas tempatnya bekerja (di 8 sektor yang dikecualikan)," tutur Ade.
Pemerintah Provinsi Jawa Barat melakukan tes swab atau pemeriksaan Polymerase Chain Reaction (PCR) kepada penumpang dan petugas kereta rel listrik (KRL) di Stasiun Bogor pada 27 April 2020. Dari tes tersebut, sebanyak tiga penumpang KRL dinyatakan positif Covid-19.
VP Corporate Communications PT Kereta Commuter Indonesia (KCI) Anne Purba menjelaskan, ketiga penumpang tersebut dari 325 orang yang di PCR. Ketiganya, merupakan penumpang tanpa gejala atau OTG.