Stresnya Belajar dari Rumah

Belajar dari rumah membuka mata jurang pendidikan di Indonesia masih sangat lebar.

ANTARA/Saiful Bahri
Seorang anak menyimak pembelajaran yang disiarkan melalui Televisi Republik Indonesia (TVRI) di Kelurahan Gladak Anyar, Pamekasan, Jawa Timur, Senin (13/4/2020). Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) menyiapkan 720 episode untuk penayangan Belajar dari Rumah selama 90 hari untuk PAUD hingga SMA melalui TVRI.
Red: Indira Rezkisari

REPUBLIKA.CO.ID, oleh Inas Widyanuratikah, Antara

Bekerja dan belajar dari rumah selama masa pandemi bisa mendatangkan rasa jenuh, namun di antara orang tua dan anak, mana yang lebih rentan menghadapi stres? Bekerja dari rumah bukanlah hal yang mudah, sebab orang tua juga dituntut untuk mendampingi anak-anaknya untuk belajar secara daring. Belum lagi tugas rumah tangga yang harus dikerjakan sekaligus.

Sementara itu, bagi anak-anak yang terbiasa bermain di luar rumah harus menghadapi konsep belajar baru menggunakan laptop atau ponsel pintar. Mereka tidak bisa bertatap muka dengan guru dan juga teman-temannya, hal inilah yang dipercaya bisa membuat stres.

"Work from home orang biasanya tambah stres apalagi anak-anak mereka karena di rumah tidak keluar. Untuk anak-anak yang kelas 4 SD ke atas pendampingan orang tua tidak terlalu intens, tapi kalau yang kecil-kecil itu kan orang tua harus mendampingi," jelas psikolog Agustina Twinky Indrawati.

"Ada beberapa anak yang nggak mau online, nggak mau sama gurunya. Kalau lagi online dia lari, otomatis kan orang tua harus belajar duluan sama gurunya nanti diterapkan ke anaknya dan itu enggak semua orang tua bisa," lanjutnya.

Twinky mengatakan orang tua yang tidak terbiasa mendampingi anaknya dalam proses belajar akan lebih mengalami stres. Sebab fokusnya terbagi antara bekerja, menemani belajar dan juga mengurus rumah tangga. Jika orang tua stres, akan membawa pengaruh kepada anak sebab nantinya anak akan terus dimarahi.

"Kelihatannya akan sama-sama stres karena anak akan dimarahi terus. Orang tua juga stres karena harus ngajarin anaknya. Kalau orang tuanya lebih bisa terima dan memandang ini sebagai hal yang lebih positif, saya kira nggak akan stres. Yang bikin stres kan sebenarnya karena nggak bisa jalan-jalan," kata Twingky.

Pendiri Rumah Perubahan Rhenald Kasali menjelaskan beberapa cara yang bisa dilakukan orang tua dalam mendidik anak selama masa isolasi pandemi Covid-19. Hal pertama yang perlu dilakukan adalah kolaborasi antara anggota keluarga.

Rhenald menjelaskan, selama masa pandemi pekerjaan orang tua bisa jadi lebih banyak dari sebelumnya. Apalagi di saat keadaan ekonomi yang melemah seperti saat ini. Masyarakat dituntut bekerja lebih giat dari sebelumnya.

"Jadi tipsnya yang pertama adalah lakukan kolaborasi sesama anggota kelaurga, karena tidak bisa kita atasi sendirian. Kita perlu dukungan keluarga kita," kata Rhenald, dalam webinar peluncuran siapnikah.org, beberapa waktu lalu.

Selain itu, perlu diciptakan suasana bermain di rumah sehingga anak tidak tertekan. Rhenald juga menyebut saat ini TVRI memiliki program belajar dari rumah yang bisa disaksikan oleh anak dalam rangka mendapatkan ilmu pengetahuan. Pada malam hari, orang tua juga perlu membaca tip cara mendidik anak dan melakukannya dengan baik.

Guru Besar Universitas Indonesia ini juga menyinggung soal pentingnya dongeng. Ia mengatakan, dongeng yang diceritakan oleh orang tua menjadi penting untuk mengembangkan imajinasi anak.

"Dongeng penting. Kembali lagi ke masa kecil kita. Kita didongengin oleh orang tua, itu sangat penting sekali," kata Rhenald menjelaskan.

Ia juga menambahkan, orang tua jangan memarahi anaknya ketika sulit belajar. Sebab, masing-masing anak memiliki cara belajar sendiri, seperti ada yang bisa fokus dengan gambar namun ada pula yang fokus dengan tulisan.

"Jangan langsung menghukum anak-anak yang susah belajar karena mereka punya cara sendiri," kata dia lagi.

Pandemi corona juga membuka mata betapa jurang pendidikan di Tanah Air masih sangat lebar. Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menilai pendidikan di Indonesia masih bias kelas.

Baca Juga




Komisioner Bidang Pendidikan KPAI, Retno Listyarti, mengatakan bias kelas terlihat ketika siswa dari keluarga menengah ke atas relatif tidak memiliki masalah dalam ketersediaan akses internet dalam Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Hal ini berbeda dengan keluarga menengah ke bawah dan siswa yang tinggal di daerah tertinggal.

"Kita melihat bahwa terjadi bias kelas sebenarnya dalam pendidikan kita. Bias kelas ini anak dari keluarga mampu atau menengah ke atas akses internet tidak berat, artinya bisa menjalankan proses PJJ. Tapi bagi yang berada di daerah misalkan, belum tentu mengalami hal sama," kata Retno.

Ia mengatakan, bagaimana pendidikan berkualitas dan berkeadilan akan tercapai ketika proses pendidikan tidak merata. PJJ hanya memfasilitasi keluarga menengah ke atas yang relatif mempunyai kemampuan dan digitalisasi yang memadai.

Retno menegaskan, bias kelas ini bukanlah hal baru dalam masalah pendidikan di Indonesia. Bias kelas sudah ada sejak dulu dalam pendidikan di Indonesia namun tidak juga teratasi.

Terkait hal ini, Retno berharap Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) bisa memperhatikan masalah bias kelas ini. Apalagi di masa darurat pandemi Covid-19 kebutuhan pendidikan anak Indonesia harus tetap dipenuhi. Sementara wilayah Indonesia begitu luas dan beragam kondisinya.

Di dalam kesempatan yang sama, Ketua Serikat Guru Indonesia (SGI) Kabupaten Bima Nusa Tenggara Barat (NTB), Eka Ilham menjelaskan, guru di sekolahnya tidak bisa melakukan PJJ secara daring. Sebab, sebagian besar siswanya tidak memiliki akses kepada internet.

Eka menjelaskan, akses internet melalui provider di tempat ia tinggal, Kecamatan Palibelo sangat lambat dan tidak mendukung aktivitas pembelajaran. Satu-satunya mendapatkan akses internet yang lancar adalah dengan menggunakan WiFi. Namun, akses WiFi cukup mahal dan siswa tidak mampu mendapatkannya.

Akhirnya, cara yang dilakukan selama ini adalah para guru melakukan kunjungan ke rumah-rumah siswa. "Memantau yang sifatnya penugasan-penugasan itu, setelah masa pandemi ini. Mereka sifatnya telling story. Dalam artian, mereka dapat menceritakan kembali yang terjadi selama pandemi," kata Eka.

Ia juga menambahkan, penggunaan dana bantuan operasional sekolah (BOS) pada akhirnya tidak untuk membeli kuota. Sebab, dari segi ketersediaan sinyal saja di daerah tempat dia mengajar tidak bisa memadai.

Sekretaris Jenderal (Sekjen) Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), Heru Purnomo, menilai selama ini PJJ yang berlangsung belum bermakna. Heru menilai, pembelajaran yang bermakna adalah ketika guru mengajarkan pengetahuan yang mengaspirasi siswanya.

"Dengan aspirasi yang muncul itu menumbuhkan keterampilan untuk berpikir," kata Heru, dalam diskusi daring, Kamis (7/5).

Selama PJJ guru perlu membimbing siswa untuk membangun nilai-nilai dari balik materi yang diajarkan. Heru menjelaskan, akhirnya hal itu menumbuhkan keterampilan siswa untuk bersikap. Di dalam mengembangkan siswa, keterampilan bersikap memiliki poin yang lebih penting dari keterampilan pengetahuan.

"Artinya, dalam menumbuhkan kecerdasan siswa baik keterampilan, kemampuan dan bersikap, lebih banyak kemampuan bersikap yaitu perbandingannya 2:1," kata Heru menambahkan.

Berdasarkan survei yang dilakukan FSGI, 93 persen guru yang menjadi responden menggunakan media daring berbasis teks untuk memberikan tugas. Sehingga, perintah-perintah kemudian mengalir terus dan akhirnya memberatkan siswa.

"Jadi, apa yang saya maksud dengan pembelajaran bermakna bahwa siswa dibimbing mengaspirasi, menanamkan nilai-nilai, kemudian membantu dirinya dalam pembelajaran jarak jauh itu. Namun, masih minim sekali dan belum bisa dikategorikan pembelajaran bermakna," kata dia lagi.

Infografis Semangat Ramadhan di Rumah Saja - (republika.co.id)




BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Berita Terpopuler