Gus Nabil: Pelonggaran Tempat Ibadah Penting
Relaksasi tempat ibadah penting untuk memudahkan masyarakat beribadah.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tokoh muda Nahdlatul Ulama (NU), Muchamad Nabil Haroen atau yang lebih dikenal sebagai Gus Nabil mengatakan, aturan pelonggaran atau relaksasi tempat ibadah penting untuk dilaksanakan untuk memudahkan masyarakat dalam beribadah. Namun, menurut dia, wacana ini nantinya harus tetap mematuhi protokol kesehatan.
Anggota Komisi IX DPR RI ini mengatakan, pemerintah sejak awal telah mendorong masyarakat untuk berdiam di rumah agar penyebaran Covid19 bisa dikurangi. Namun, melihat perkembangan penanganan Covid-19 saat ini sudah saat saatnya pemerintah untuk memberikan pelonggaran.
"Maka, penting untuk melonggarkan aturan ini dengan memberi peluang lebih bagi warga untuk beribadah. Tentu saja, dengan mematuhi protokol kesehatan dan prosedur keamanan," ujar Gus Nabil saat dihubungi Republika.co.id, Rabu (13/5).
Sebelumnya, menurut dia, Pemerintah Daerah (Pemda) juga sudah bersikap keras bahwa jika ada rumah ibadah yang masih buka selama Covid-19, maka pengurus rumah ibadah akan dikenalan ancaman pidana. Menurut dia, ancaman pidana tersebut saat ini semestinya juga sudah dicabut.
"Pemerintah pusat hingga daerah harus mencabut ancaman pidana bagi takmir masjid dan pengurus rumah ibadah, di tengah pandemi Covid19," ucap Gus Nabil.
Selain itu, Ketua Umum Pimpinan Pusat Pagar Nusa NU ini juga menyoroti wacana pelonggaran Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang diwacanakan oleh pemerintah. Menurut dia, dalam melakukan pelonggaran PSBB itu pemerintah juga harus berhati-hati.
"Pemerintah harus ekstra hati-hati dengan kebijakan strategis. Saat ini pemerintah harus menghitung secara detail terkait wacana pelonggaran PSBB," kata Gus Nabil.
Dia melanjutkan, pemerintah harus memastikan adanya penurunan kasus Covid19, dengan kurva yang jelas berbasis data yang kongkret dan transparan. Menurut dia, data dari tiap daerah harus diintegrasikan secara rapi dan detail, serta harus ada investigasi agar data benar-benar bisa dipertanggungjawabkan.
"Jika data tidak transparan, maka susah untuk melihat tren dan kurva Covid19 di Indonesia," jelasnya.