Kembali Bikin Geger Barat, Iran Rilis Produksi Nuklir Terbaru
Iran menjadi satu dari sedikit negara yang mampu memproduksi IRF6
REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN — Pemerintah Iran meluncurkan lini produksi Hexafluoride Iridium (IRF6) di fasilitas nuklir Shahid Raesi (UCF) di provinsi Isfahan, Iran. Dirilisnya produk nuklir IRF6 terbilang signifikan bagi sektor teknologi nuklir Iran.
Upacara peluncuran produk nuklir terbaru ini dihadiri oleh Mohammad Eslami, Kepala Organisasi Energi Atom Iran (AEOI), bersama dengan para pejabat senior dari industri nuklir.
Lini produksi IRF6 yang baru saja diresmikan ini akan digunakan untuk pengayaan dan pemisahan isotop IR-191, sebuah komponen penting dalam berbagai aplikasi medis dan industri.
Dengan peluncuran lini produksi canggih ini, Iran telah menjadi salah satu dari sedikit negara yang mampu memproduksi Hexafluoride Iridium (IRF6). Pencapaian ini tidak hanya memperkuat kemampuan domestik negara ini, namun juga membuka pintu bagi potensi ekspor ke negara lain.
Peluncuran produk nuklir ini juga dilakukan bertepatan dengan perayaan peringatan Sepuluh Hari Revolusi Islam. Selain IRF6, beberapa proyek nulir diresmikan di UCF, yang berada di Provinsi Isfahan, menurut laporan.
Proyek-proyek tersebut meliputi fasilitas uji keamanan teknis yang komprehensif, tungku sintering pelet bahan bakar skala semi-kontinyu/semi industri, dan Mesin Pengelasan Resistansi (RW).
Iran sempat mengecam keras Pemerintah Amerika Serikat yang menerapkan sanksi terbaru dengan individu dan perusahaan yang dituduh membantu ekspor minyak negara tersebut. Teheran menyebut langkah itu sebagai tindakan yang melanggar hukum dan bertentangan dengan aturan internasional.
Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Esmaeil Baghaei, mengecam keras sanksi itu sebagai “sepenuhnya tidak sah” serta menegaskan bahwa langkah AS menjatuhkan sanksi terhadap sejumlah negara termasuk Iran, “bertentangan dengan aturan dan regulasi internasional,” seperti dilaporkan Kantor Berita Iran (IRNA).
Baghaei mengatakan, keputusan Pemerintahan AS yang baru untuk menekan rakyat Iran dengan menghalangi perdagangan sah Iran dengan mitra-mitra ekonominya merupakan tindakan yang tidak sah, melanggar hukum, dan bertentangan dengan aturan internasional.
“Pemerintah Iran menegaskan bahwa Amerika Serikat bertanggung jawab atas konsekuensi dari tindakan sepihak dan aksi pemaksaan semacam ini,” kata Baghaei.
Pada Kamis, Kementerian Keuangan AS mengumumkan sanksi terhadap lebih dari selusin entitas dan individu di China, India, dan Uni Emirat Arab (UAE), dengan tuduhan terlibat dalam memfasilitasi pengiriman minyak Iran.
Sanksi tersebut merupakan tindakan pertama yang diberlakukan di bawah pemerintahan Presiden AS Donald Trump pada masa jabatan keduanya.
Sebelumnya, Trump telah menandatangani memorandum kepresidenan untuk menghidupkan kembali kebijakan tekanan maksimum terhadap Iran yang diterapkan oleh pemerintahannya.
Sebelum sanksi tersebut diberikan, Pemerintah Iran berharap mencapai kesepakatan nuklir baru dengan Amerika Serikat seiring dilantiknya Presiden Donald Trump. Hal ini disampaikan Wakil Presiden Iran Urusan Strategis Javad Zarif pada Rabu di Forum Ekonomi Dunia di Davos, Swiss.
“Saya berharap kali ini, ‘Trump 2’ (masa jabatan kedua) akan lebih serius, lebih fokus, lebih realistis.” ujar Zarif menjawab pertanyaan apakah Iran yakin AS akan menyetujui kesepakatan baru.
Pada 2018, pada masa jabatannya yang pertama, Trump secara sepihak menarik diri dari kesepakatan nuklir dengan Iran sekaligus memberlakukan kembali sanksi atas negara itu.
Sementara itu, menyusul kritik dari Badan Tenaga Atom Internasional (IAEA) mengenai aktivitas nuklirnya, Iran mengumumkan rencana untuk mengoperasikan ribuan mesin sentrifuga baru guna memperkaya uranium pada 29 November 2024.
Saat ini, Iran memperkaya uranium hingga kemurnian 60% – tingkat yang jauh di bawah 90% yang dibutuhkan untuk senjata nuklir tetapi jauh melampaui batas kesepakatan nuklir awal.