Kisah Aron, Yahudi Jadi Mualaf Setelah Pulang dari Indonesia
Aron menjadi mualaf setelah mengenal Islam saat tinggal dua tahun di Indonesia.
REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Aron (bukan nama sebenarnya) berasal dari keluarga Yahudi di New York, Amerika Serikat. Dia menjadi mualaf dan masuk Islam setelah mengikuti pertukaran pelajar di Indonesia.
Dikutip dari Aboutislam (aboutislam.net), Senin (18/5), disebutkan bahwa Aron tumbuh di New York. Nenek moyangnya berasal dari Polandia, Eropa Timur. Mereka meninggalkan kampung halamannya ketika kekaisaran Rusia mengusai sejumlah wilayah di Polandia pada 1795.
Setelah melalui perjalanan panjang, akhirnya nenek moyang keluarga Aron tinggal dan menetap di New York. Meski beragama Yahudi, keluarga ini bukan Yahudi ortodoks.
"Meski harus diakui Yudaisme berperan penting untuk penanda identitas keluarga ini, mereka mengikuti ritual dan perayaan tradisional sambil terlibat dengan masyarakat di sekitar kami," katanya.
Ke Indonesia
Sejak usia dini, Aron mengembangkan bakatnya di musik. Pada remaja, dia sudah menyukai musik eksperimental. Dia terpesona dengan musik tradisional dan alat musik dari berbagai negara. Dia menggunakan suara yang berbeda dan memasukkannya ke dalam komposisi musiknya sendiri.
Suatu hari, seorang teman memberi tahunya tentang Indonesia dan dia bisa belajar etnomusikologi di sana. Aron bertekad untuk bepergian ke Indonesia dan mendaftar di institut seni yang menawarkan gelar di bidang etnomusikologi.
Menyembunyikan identitas
Ketika Aron tiba di Indonesia dan mendaftar di institut, Aron tidak memberi tahu siapa pun bahwa dirinya orang Yahudi. Di Indonesia, orang biasanya harus menyatakan agamanya. Aron hanya menyatakan bahwa dia memeluk agama Buddha. Itu adalah pilihan termudahnya saat itu.
Dia khawatir orang akan menunjukkan permusuhan terhadapnya karena dia orang Yahudi. Karena dia tidak mempraktikkan agama sebelumnya, Aron tidak keberatan mengeklaim bahwa dia seorang Buddha.
Tak tertarik Islam
Aron tinggal lebih dari dua tahun di Indonesia. Selama waktu itu dia bergabung dengan banyak proyek musik. Dia berusaha menghindari diskusi keagamaan sebaik mungkin. Dia berkonsentrasi pada musiknya. Dia pun menjadi jauh dengan nilai-nilai Yahudi.
"Saya jauh dari keluarga saya. Jauh dari komunitas Yahudi saya yang biasanya mendukung bergabung dengan perayaan tradisional kami," kata Aron.
Menurut Aron, Islam seperti yang banyak dianut oleh masyarkat lokal bukan untuk dirinya. Aron berpikir bahwa banyak umat Islam hanya menghabiskan terlalu banyak waktu untuk berdoa daripada melakukan hal-hal yang sangat penting.
Gamelan dan Islam
Pada suatu hari, Aron bergabung dengan pertunjukan gamelan tradisional. Gamelan adalah instrumen perkusi tradisional di Jawa yang terbuat dari logam.
Di sebelahnya duduk seorang lelaki tua yang mulai berbicara kepada dirinya. Saat itu pada pertengahan tahun, keduanya tinggal di Indonesia dan bahasa Indonesia-nya sudah cukup baik.
Dia menjelaskan kepada Aron hubungan antara gamelan dan Islam. Dia memberi tahunya tentang gamelan kerajaan kuno yang memiliki satu-satunya tujuan untuk memperingati kelahiran Nabi Muhammad.
Gamelan sekaten lebih besar dari semua gamelan lainnya dan hanya digunakan setahun sekali. Lelaki tua itu melanjutkan bahwa permainan gamelan ini sebagai bentuk pujian untuk Nabi Muhammad.
"Kisah ini mengesankan saya karena saya tidak pernah memikirkan aspek spiritual dari musik. Penjelasannya membuat dampak yang bertahan lama bagi saya," kata Aron.
Membaca tentang Islam
Aron terus merekam gamelan menjadi bagian penting darinya. Dia mulai membaca lebih banyak tentang aspek spiritual Islam, terutama yang disebut mistisisme Islam di Indonesia.
"Jujur, itu menyentuhku. Itu memengaruhi saya. Saya mengerti bahwa Islam adalah agama yang hidup dan penuh dengan spiritualitas yang saya inginkan dalam hidup saya. Saya telah melihat Islam sebagai agama yang kering dan ketat yang hanya berfokus pada aspek luar dan aturan," katanya.
Membaca tentang Islam di Indonesia, Aron belajar bahwa persepsi dia jauh dari kenyataan. Semakin banyak dia membaca, semakin tertarik ia dibuatnya. Aron juga membaca tentang Islam di tempat-tempat lain di dunia. "Dan saya terpesona dengan kekayaannya," kata Aron.
Aron tertarik untuk memeluk Islam dan menjadi Muslim. Namun, dia mulai khawatir tentang keluarganya.
"Apa yang akan mereka katakan? Seorang Yahudi menjadi Muslim? Saya tidak ingin kehilangan mereka," kata Aron.
Akhirnya Aron mengikuti kata hatinya. Dia mengucap kalimat syahadat di pusat komunitas Muslim kecil di New York City. Dia mulai berdoa. Dia bergabung dengan lingkaran dzikir biasa. "Ingatan ritmis tentang Allah itu luar biasa. Ini seperti musik spiritual yang menenangkan hati dan menenangkan pikiran," kata Aron.
Memberi tahu keluarga
Aron tidak memberi tahu keluarganya bahwa dia masuk Islam dalam waktu yang lama. Karena dia tidak tinggal bersama mereka lagi, cukup mudah untuk menyembunyikannya.
"Namun, akhirnya mereka curiga pada saya. Saya mencoba menyiasati perayaan keagamaan dan pertemuan komunitas Yahudi reguler kami," kata Aron.
"Ketika saya memberi tahu mereka, mereka hanya diam untuk apa yang tampak seperti selamanya. Kemudian, ibu saya bertanya apakah saya bahagia. Lalu, saya berkata: iya!"
Namun, ayah Aron meminta agar keislamannya tidak diberitahu untuk banyak orang dulu. Sebab, saat ini orang memiliki opini buruk tentang Muslim. Orang tua Aron tidak ingin masyarakat berpikir negatif tentang dirinya dan keluarga.
Aron memenuhi permintaan ayahnya. Sampai sekarang, Aron masih melakukannya. Aron tidak berbicara tentang agama. Dia hanya sesekali bergabung dengan pertemuan komunitas Yahudi.
"Saya masih bisa melihat dan mengunjungi keluarga saya. Alhamdulilah," kata Aron.