Tagar #IndonesiaTerserah yang Mendunia

Media asing menyoroti tagar #IndonesiaTerserah dan lemahnya implementasi jaga jarak.

Antara/Aditya Pradana Putra
Warga berbelanja pakaian yang dijual pedagang kaki lima di Jalan Jati Baru II, Tanah Abang, Jakarta, Senin (18/5/2020). Meski kawasan niaga Pasar Tanah Abang telah tutup selama masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), namun sebagian oknum pedagang tetap menggelar lapaknya di sejumlah titik seperti di atas trotoar dan di gang perkampungan setempat.
Red: Teguh Firmansyah

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tagar #IndonesiaTerserah turut menjadi perhatian media internasional. Selain kantor berita Reuters, South China Morning Post yang berbasis di Hong Kong juga ikut mengutip tagar ini dalam artikelnya.

Reuters menjadikannya menjadi sebuah judul "#IndonesiaWhatever: Indonesia vent online over virus response".  Dalam paragraf awal, Reuters menggambarkan kritik yang diarahkan kepada pemerintah menyusul respons terhadap pandemi virus corona. Selain itu, berita itu mengabarkan soal masih banyaknya warga yang seperti tak peduli dengan virus. Semua itu lalu digambarkan dalam satu gerakan tagar #IndonesiaWhatever atau #IndonesiaTerserah.

Tagar itu berawal dari komentar seorang dokter yang juga influencer, Tirta Mandiri Hudhi. Dokter Tirta geram dengan pelonggaran penerbangan yang sempat membuat terjadinya penumpukan di Bandara Soekarno-Hatta beberapa waktu lalu. Penumpukan tersebut jelas melanggar aturan jaga jarak yang selama ini digembor-gemborkan pemerintah.

Di akun Instagram-nya, dokter itu mengunggah gambar dirinya dengan mengenakan pakaian pelindung sambil memegang kertas bertulisakan: "Indonesia?Terserah!!! , Suka-Suka Kalian Saja".  Hingga Selasa (19/5), setidaknya sudah ada 400 ribu tanda suka terhadap gambar tersebut.

Sementara itu, South China Morning Post menulis tagar itu dalam taiching sebuah artikel. "Doctors use #WhateverIndonesia hashtag as relaxed travel measures bring crowds to airport, while experts fear spike in cases after Eid," tulis SCMP.

Dalam artikelnya, SCMP mengutip sejumlah narasumber. Salah satunya peneliti dari CSIS, Muhammad Habib Abiyan Dzakwan. Habib menyinggung soal pemerintah yang kerap membuat aturan, tetapi lemah dari sisi pengawasan, koordinasi, maupun implementasi.

"Saya yakin bahwa pembatasan sosial skala besar ini hanya bagus di naskah aturan. Tapi, di lapangan, saya tidak punya keyakinan soal itu," ujarnya.

Baca Juga


BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler