Ragam Kuliner Soto, Apa Ini Masakan Asli Nusantara?

Data dari Pakar Ketimuran, Denys Lombard menyebutkan soto berasal dari China.

Republika/Wilda Fizriyani
Soto Ayam Dargo (Ilustrasi)
Rep: Wilda Fizriyani Red: Agus Yulianto

REPUBLIKA.CO.ID, MALANG -- Soto, menu andalan yang disukai dan dikenal hampir seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Masakan ini tersedia di berbagai daerah dengan keunikan tersendiri. 


Kuah soto di Jawa Timur (Jatim) misalnya, lebih terasa kental dibandingkan Jawa Tengah (Jateng). Adapula soto di Purbalingga yang memakai sambal kacang-kemiri dan serundeng di kuah. Lalu kuah Taoto Pekalongan yang memadukan tauco di dalamnya.

Berbagai macam rasa soto di Nusantara menimbulkan berbagai pertanyaan, termasuk apa benar kuliner tersebut asli Indonesia? 

Pemerhati Kuliner dari Universitas Brawijaya (UB), Malang, Ary Budianto telah melacak asal muasal soto dari beberapa data. Pertama, data dari Pakar Ketimuran, Denys Lombard yang menyebutkan soto berasal dari China. Di dialek Hokkian disebut Cau do (Jao To/Chau Tu atau rerumputan jeroan/jeroan berempah). "Ini pertama kali populer di wilayah Semarang sekitar abad XIX," kata Ary saat dikonfirmasi Republika, beberapa waktu lalu.

Di data lain, soto dinilai berasal dari kata shao du (Sao Tu) yang artinya 'memasak jeroan’. Menurut Ary, data-data tersebut tidak selalu merujuk pada masakan yang berbahan dasar perut binatang. Soto bisa saja sebutan untuk masakan berlimpah air kaldu dan rempah bagi kaum peranakan.

Selain itu, Ary mengatakan, terdapat kebiasaan pelanggan menyebut masakan tertentu meski bukan nama aslinya. Sebutan nama itu akhirnya menjadi lebih populer daripada nama aslinya. Salah satu kasus terlihat pada sate ‘laler’ di mana itu merupakan nama guyonan.

Menurut Ary, 'laler' melekat pada sate khas Madura yang dijual keliling oleh para ibu. Adapula penyebutan sate koyor sapi di Gamping, Sleman, DI Yogyakarta. Penyebutan ini hanya karena daging diiris tipis dan kecil-kecil. Dari penemuan data tersebut, bisa saja terjadi pada penyebutan kuliner soto di lidah dan telinga masyarakat lokal.

Di sisi lain, soto kemungkinan konotasi dari sebuah menu sup-supan yang berbahan dasar daging jeroan. Lebih tepatnya daging-jeroan binatang berkaki empat seperti sapi atau kerbau. "Jadi, bukan binatang berkaki dua," kata Antropolog UB ini.

Berdasarkan penelitian Lombard, kata Ary, menu yang pertama kali populer di Semarang pada abad 19 itu soto. Dalam hal ini, sup yang berbahan dasar daging-jeroan. Penelitian ini tidak secara implisit merujuk pada jeroan unggas/ayam yang tidak mungkin dijadikan kuah-rempah lezat sebagaimana daging-jeroan. 

Hingga saat ini, Ary mengaku, belum menemukan bukti soto komersial di jalanan Semarang. Hal ini utamanya soto yang kaldu kuahnya berbahan dasar daging-jeroan sapi maupun kerbau. Soto terkenal di daerah tersebut justru yang berbahan ayam seperti di Bokoran, Selan, dan Bangkong.

Secara teori, proses populerisasi sebuah warung makan di Jawa diperkirakan mengalami dua tahap. Tahapan tersebut antara lain perintisan-pemantapan dan pengkondangan-penjiplakan. Konsep ini kemudian terlihat jelas bagaimana proses popularitas Tahu Telupat di Yogyakarta pada 1994.

Proses perintisan hingga pemantapan paling tidak membutuhkan sekitar lima tahun. Sementara proses pengkondangan dan penjiplakan memerlukan waktu lima tahun juga. Proses ini termasuk mulainya banyak pihak yang mengkopi bisnis tersebut. 

Ary sendiri kurang menyetujui adanya 'seleksi alam' pada soto daging-jeroan di Semarang. Sebuah proses di mana menu tersebut punah sehingga yang tersisa hanya soto ayam. "Ini cukup meragukan karena soto daging-jeroan ala Madura-an terbukti masih ada dan berevolusi hingga kini," jelasnya.

Ary juga mengungkapkan fakta lain bagaimana keberlangsungan soto ayam Bokoran Semarang, soto kerbau Karso Karsi/ Pak Di/ Soponyono Kudus dan soto ayam Kudus lainnya. Soto-soto tersebut dirintis sejak 1940-an lalu mulai melegenda pada 1950-an sampai sekarang. Dari sini, Ary mengaku mempertanyakan keberadaan soto daging-jeroan di Semarang pada masa lampau.

Soto pada dasarnya tidak hanya populer di Semarang pada akhir abad 19-an seperti yang diungkapkan Lombard. Gambaran soto turut terlihat di koleksi foto maupun kartu pos jadul koleksi KITLV dan lainnya. Hal ini membuktikan kuliner tersebut sudah cukup dikenal di Batavia, Jawa, dan Surabaya.

"Soto berbahan daging-jeroan ala Surabaya, Betawi, dan mungkin di kota lainnya sepertinya telah ada dan secara sporadis tumbuh dan mendominasi jalanan kota-kota pesisir utara Jawa masa kolonial," katanya.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Berita Terpopuler