Cerita Penyintas Covid-19, Dirundung Hingga Stigma Buruk
Penyintas Covid-19 sempat merasa terpuruk dan tak percaya diri saat keluar rumah.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Aryo Budhi Wicaksono menjadi salah satu penyintas Covid-19 di Indonesia. Menjadi penyintas Covid-19 ternyata tidak mudah. Ia harus menerima rundungan dan intimidasi di lingkungan tempat tinggalnya.
Saat ini dirinya sudah sembuh sepenuhnya dari virus asal Wuhan itu usai menjalani isolasi mandiri selama satu bulan. Tapi, masa-masa itu harus dilaluinya dengan perasaan tertekan.
Pria dari Kelurahan Pegangsaan, Jakarta Pusat, ini mengatakan banyak orang yang menganggapnya sebagai pembawa virus. Di awal-awal masa isolasi mandirinya, pemilik kontrakan bahkan menolak Aryo untuk melakukan karantina di rumah sewanya. Tidak berhenti sampai di situ, pada saat kerabatnya datang memberi kebutuhan sehari-hari kepada Aryo, beberapa tetangganya mencibir saat menyaksikannya.
Pria berusia 28 tahun itu menceritakan awalnya ia tidak langsung dinyatakan sebagai pasien Covid-19. Ia berstatus Orang Dalam Pengawasan (ODP) pada 15 April 2020.
"Itu karena mertua saya harus dirawat di rumah sakit dan berstatus pasien dalam pengawasan (PDP). Saya lalu berinisiatif melakukan isolasi mandiri. Saya juga laporkan kegiatan saya itu ke RT sama RW tempat saya tinggal," kata Aryo.
Tidak hanya Aryo, seluruh anggota keluarga yang tinggal di rumahnya harus menjalani isolasi mandiri karena telah berinteraksi langsung dengan pasien PDP. Aryo melakukan pelaporan kepada pemimpin di lingkungannya itu agar keluarganya mendapatkan akses pengawasan kesehatan dari tenaga medis di kelurahannya.
Kegiatan isolasi mandiri keluarganya selama dua hari berjalan cukup lancar. Di hari ketiga, Ketua RW di lingkungannya mendatangi kediaman Aryo untuk memberikan makan serta kebutuhan sehari-hari bagi keluarga Aryo.
Ternyata selain mengantarkan makanan, Ketua RW dan Ketua RT di tempatnya tinggal pun memberikan sosialisasi kepada tetangga lainnya. Sosialisasi yang awalnya diharapkan dapat menggerakkan hati warga di sekitar dapat membantu memberikan bantuan kepada keluarga Aryo justru berubah menjadi ketakutan.
"Sosialisasi bahwa keluarga saya melakukan isolasi mandiri itu ada, tapi ternyata warga sekitar menerima pesannya berbeda. Mereka tidak bisa menerima kondisi keluarga saya yang menjalankan isolasi mandiri," kata Aryo.
Sehari usai kedatangan Ketua RW, Aryo dihubungi oleh Ketua RT yang meminta ia dan keluarga melakukan isolasi mandiri di Rumah Dinas milik Lurah. "Pemilik kontrakannya tidak mau kami tinggal di situ. Jadi nanti isolasinya di rumah dinas Lurah atau RPTRA," ujar Aryo menirukan Ketua RT menyampaikan penolakan dari pemilik rumah yang disewa oleh Aryo.
Ia pun berdiskusi dengan anggota keluarga lainnya. Mereka sepakat keluar dari rumah kontrakan itu, namun tidak menjalani isolasi di rumah dinas milik Lurah ataupun RPTRA.
"Kami putuskan untuk tinggal di rumah ayah saya. Kebetulan bisa untuk 10 orang karena itu tiga lantai," kata Aryo.
Usai tinggal di rumah ayahnya, petugas medis mendatangi keluarga Aryo untuk melakukan tes swab. Hasilnya menunjukkan bahwa lima dari sepuluh anggota keluarga yang menjalani isolasi mandiri itu positif Covid-19.
"Lima orang itu yang positif semuanya anak muda. Sepupu saya, anak saya usia empat bulan, saya, dan dua keponakan saya. Kami semua diberi catatan khusus sebagai orang tanpa gejala (OTG)," kata Aryo.
Aryo yang mengetahui dirinya positif Covid-19 itu tetap disarankan menjalani isolasi mandiri oleh petugas medis dari Puskesmas setempat. Ia pun segera memberi kabar kepada teman-temannya melalui aplikasi pesan singkat terkait kondisinya.
Dengan keadaannya, ia tidak terpuruk. Ia justru semangat melakukan konsultasi dengan dokter dari Puskesmas Kelurahan Pegangsaan terkait tata cara isolasi mandiri yang benar.
"Saya sempat diteriakin, waktu ada tetangga yang nyinyir ke temen saya yang membawa kebutuhan saya sama keluarga. Saya bilang saja, kalau memang tidak mau tertular, di rumah aja, jangan kelayapan. Pake masker, bukan jalan-jalan," Aryo bercerita tentang perundungan yang membuatnya melakukan adu mulut dengan tetangganya.
Adu mulut itu merupakan puncak dari serangkaian penolakan warga terhadap Aryo yang saat itu berstatus pasien Covid-19. Kejadian itu dipicu pada saat Aryo yang berada di lantai dua akan menerima bantuan dari temannya.
Ia menurunkan keranjang yang terikat agar temannya dapat menaruh kebutuhan Aryo selama menjalani isolasi mandiri. Tetangganya yang tak suka justru mencibir, melirik tidak suka teman Aryo yang memberi bantuan. Akibat adu mulut tersebut, tetangga lainnya justru malah semakin menganggap Aryo sebagai gangguan.
"Saya yang saat itu sakit, disebut tukang berisik. Padahal nada saya meninggi karena membela diri," kata Aryo.
Selama 14 hari sejak kejadian itu, petugas medis kembali melakukan tes swab untuk mengetahui kondisi terbaru dari Aryo dan keluarga. Berkat kedisiplinannya menjalani isolasi mandiri, hasilnya Aryo pun dinyatakan negatif.
Meski sudah dinyatakan sembuh, perundungan tidak berhenti diterima oleh keluarga Aryo. Salah satunya saat ayah Aryo ingin melakukan Shalat Subuh di salah satu mushalla yang mengadakan sholat berjemaah di lingkungannya dengan menerapkan protokol kesehatan Covid-19. Tiba-tiba seluruh jamaah keluar meninggalkan ayahnya.
"Ayah saya sejak saat itu tidak lagi pergi ke mushalla. Dia kaget dengan perlakuan itu," kata Aryo.
Aryo pun akhirnya menjadi tidak percaya diri. Ia mengaku kesehatan mentalnya tertekan karena penolakan warga pada orang-orang yang terkena Covid-19.
"Saya bahkan sampai minta sama dokter Puskesmas yang nanganin saya. Bisa tidak saya dibuatkan surat keterangan, kalau saya bebas Covid-19 biar masyarakat itu mau nerima saya lagi," kata Aryo menceritakan momen putus asa menghadapi perundungan warga di lingkungannya. Untungnya pada saat Aryo mengalami keputusasaan itu, Aryo diberikan saran oleh temannya untuk berkonsultasi daring melalui program "Sapa Kamu" untuk menghadapi masalah perundungan yang dialaminya.
"Saya jujur saja masih kadang tidak percaya diri kalau beraktivitas di luar ruangan. Apalagi kalau ingat diintimidasi itu kan. Saya bosan, tapi saya jadi punya misi buat edukasi masyarakat, gimana caranya orang kayak saya (penyintas Covid-19) tidak dicap buruk," kata Aryo.