Tarekat Naqsyabandiah di Indonesia
Tarekat Naqsyabandiah terus berkembang di Indonesia.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Tarekat Naqsyabandiah tersebar ke berbagai penjuru dunia Islam dan mendapat banyak pengikut. Di Indonesia, penyebaran tarekat ini terutama terjadi pada abad ke-19 melalui jamaah haji dan pelajar-pelajar Indonesia di Makkah.
Pada abad ke-19, di Makkah terdapat sebuah pusat Tarekat Naqsyabandiah di bawah pimpinan Sulaiman Zuhdi. Saat itu sekitar tahun 1837 Tarekat Naqsyabandiah sedang berkembang pesat di Arab Saudi. Markasnya terletak di kaki gunung Abu Qubaisy (Jabal Qubaisy). Setelah Sulaiman Zuhdi berpulang, silsilah ketarekatan dilanjutkan oleh putra beliau, Ali Ridla.
Ketika kepemimpinan berada di tangan Sulaiman Zuhdi inilah ada sejumlah murid yang berasal dari nusantara, terutama Sumatra dan Jawa. Di antaranya Sulaiman Hutapungkut dari Kota Nopan, Tapanuli Selatan, dan Muhammad Hadi Girikusumo dari Demak, Jawa Tengah. Mereka berdua yang pertama kali mengenalkan ajaran Tarekat Naqsyabandiah di Indonesia.
Sejarawan J Spencer Trimingham pernah menyebutkan bahwa sekitar tahun 1845, seorang syekh Naqsyabandiah dari Minangkabau dibaiat di Makkah. Menurut Snouck Hurgronje, penasihat Pemerintah Hindia Belanda, Tarekat Naqsyabandiah yang dipimpin oleh Sulaiman Zuhdi di Makkah mempunyai banyak pengikut yang berasal dari berbagai daerah seperti Turki, Hindia Belanda, dan Malaysia.
Sulaiman Hutapungkut sekembali dari Jabal Qubaisy mengembangkan tarekat ini di Sumatra. Kepemimpinan beliau kemudian dilanjutkan oleh salah seorang muridnya, Muhammad Hasyim al-Khalidi. Sebagai kelanjutan pendidikannya, Muhammad Hasyim diperintahkan oleh gurunya, Sulaiman Hutapungkut, untuk berguru kepada Ali Ridla di Jabal Qubaisy. Dikabarkan Muhammad Hasyim tekun menuntut ilmu, mendalami syariat dan hakikat, serta memperoleh makrifat.
Sementara Muhammad Hadi Girikusumo mensyiarkan ajarannya di Demak dan sekitarnya dengan mendirikan Pondok Pesantren Girikusumo pada 1836. Pesantren Girikusumo pada awal didirikannya fokus pada kajian ilmu tasawuf. Kemudian berkembang menjadi pesantren salaf, yang tidak cuma mengajarkan tasawuf, tetapi juga mengajarkan kitab-kitab kuning, seperti halnya pesantren salaf lain di nusantara.
Dua versi
Tarekat Naqsyabandiah di Indonesia terus berkembang dan mengambil bentuk yang tidak sama persis dengan daerah asalnya. Secara garis besar dikenal dua versi Tarekat Naqsyabandiah, yakni Tarekat Naqsyabandiah Khalidiah dan Tarekat Naqsyabandiah Muzhariyah. Tarekat Naqsyabandiah Khalidiah berkembang luas di wilayah Sumatra. Sementara Tarekat Naqsyabandiah Muzhariyah berkembang di luar wilayah Sumatra.
Di bawah kepemimpinan Hasyim al-Khalidi, Naqsyabandiah menjadi Tarekat Naqsyabandiah Khalidiah. Penyebarannya mulai dari daerah asalnya, Simabur (Batusangkar, Sumatra Barat), kemudian ke wilayah Kerajaan Langkat dan Deli, hingga ke Kerajaan Johor.
Hasyim al-Khalidi mengangkat Kadirun Yahya Muhammad Amin al-Khalidi sebagai mursyid menggantikan dirinya. Di bawah kepemimpinan Syekh Kadirun Yahya ini penyebaran Naqsyabandiah Khalidiah semakin luas, bahkan murid-muridnya ada yang berasal dari Amerika.
Maka, untuk memudahkan pengorganisasian, terkait aktivitas sosial-kemasyarakatan, dibuatlah wadah yayasan yang diberinama Yayasan Prof Dr H Kadirun Yahya. Sedangkan ajaran tarekat yang dikembangkannya, dipopulerkan oleh murid-muridnya sebagai Tarekat Naqsyabandiah Yayasan Prof Dr H Kadirun Yahya.
Adapun Tarekat Naqsyabandiah Muzhariyah bersumber dari Muhammad Saleh az-Zawawi. Penyebaran tarekat ini sangat luas hingga ke berbagai penjuru dunia. Muridnya sangat banyak, antara lain, Syekh Abdul Murad Qazani (Turki), yang menurunkan ulama Tarekat Naqsyabandiah, yakni Abdul Aziz bin Muhammad Nur yang berasal dari Pontianak, Ja'far bin Muhammad dari Kampung Tanjung (Pontianak), Ja'far bin Abdur Rahman Qadri dari Kampung Melayu (Pontianak), dan Abdul Azim Manduri dari Madura yang berjasa besar menyebarkan tarekat ini di wilayah Jawa Timur dan Kalimantan Barat.