Respons Mengejutkan Warga Amerika Serikat Terhadap Islam
Warga Amerika Serikat menyikapi berbeda Islam sejak 11/9.
REPUBLIKA.CO.ID, Selama ini, persepsi kita mengenai kiprah Islam di AS didominasi profil komunitas Afro-America, seperti Malcolm X, pimpinan ''Nation of Islam'' Elijah Muhamad, Louis Farrakhan, atau olahragawan kondang seperti Muhamad Ali, Mike Tyson, Kareem Abdul Jabbar.
Baru-baru ini, saya berkesempatan mengintip sisi lain dari komunitas Muslim di Chicago, negara bagian Illinois, AS. Pada tanggal 11 Desember, Konjen RI di Chicago-AS, Daulat Pasaribu, menfasilitasi dialog rombongan Ikatan Alumni Permias (Persatuan Mahasiswa Indonesia di Amerika Serikat) dengan Islamic Foundation (IF) dan Council of Islamic Organizations of Greater Chicago (CIOGC).
Rombongan tersebut terdiri dari Prof Dr Ismail Suny, Konjen Pasaribu, kami, dan sejumlah Pengurus Ikatan Alumni Permias. Pihak Islamic Foundation terdiri dari warga AS generasi pertama dan kedua, yang berasal dari Pakistan, Bangladesh, India, dan Timur Tengah. Muslimah IF dan CIOGC yang hadir dalam pertemuan ada yang berjilbab (termasuk pemandu acara Amina Saeed, Director Community Relations) dan ada yang berbusana modern ala Chanel.
Pertanyaan pertama yang diajukan delegasi Indonesia adalah: sejauh mana penerimaan (comfort level) rakyat Amerika terhadap kaum muslimin? Menurut mereka, Islam adalah fenomena baru di AS. Dari survey yang mereka miliki, hanya sekitar 30 persen rakyat Amerika yang tahu mengenai Islam, dan hanya 1 dari 4 warga AS yang mengenal seorang Muslim.
Menurut survei lain, sebelum peristiwa 11 September 2001, 6 persen warga AS mempunyai pandangan negatif terhadap Islam; setelah peristiwa tersebut, angka ini naik menjadi 12 persen.
Rakyat AS memang belum terbiasa dengan masyarakat Islam (Muslim) sebagaimana halnya mereka terbiasa dengan agama Kristen, Katolik, atau Yahudi yang memang jauh lebih lama bercokol di AS dan mempunyai visibilitas yang tinggi di media setempat. Namun kecenderungan ini mulai berubah beberapa tahun belakangan ini.
Menurut Islamic Foundation, umat Islam di AS sempat mengalami masa yang sangat sulit ketika terjadi peristiwa 11 September, 2001. Amarah rakyat AS sempat menimbulkan intimidasi, vandalisme, demonstrasi, sehingga mengakibatkan sebagian besar keluarga Muslim merasa takut.
Untungnya, tidak lama kemudian muncul gelombang simpati dan dukungan solidaritas dari masyarakat setempat. Yang paling menyentuh perasaan mereka adalah ketika ada siswa-siswa sekolah-sekolah negeri lainnya, LSM, dan komunitas agama lain yang menawarkan diri untuk membuat ''barisan pagar manusia'' (human chain) bersama-sama umat Islam untuk menjaga sekolah Islam yang mereka dirikan, dan perumahan Muslim serta masjid.
Sejak saat itu, barulah mereka menyadari bahwa mayoritas rakyat AS berada di pihak mereka. Mereka juga tertolong dengan adanya pernyataan Walikota Chicago, Richard Daley, bahwa Pemerintah dan aparat kota Chicago tidak akan mentoleransi tindakan diskriminatif dan intimidasi terhadap etnis atau agama apa pun.
''Kok bisa begitu, ya?'' tanya seorang peserta rombongan dari Indonesia. ''Resepnya tidak sulit,'' jawab mereka. Komunitas Muslim di Negara Bagian Illinois, khususnya di the Greater Chicago, sudah menjadi aktivis politik yang mapan di Chicago.
Mereka sudah lama menjalin hubungan dengan pemda, walikota, universitas, kelompok bisnis, polisi, media, masyarakat setempat, dan dengan kelompok-kelompok agama lain. Ada sekitar 400 ribu Muslim yang bergabung di 50 kelompok organisasi masyarakat Islam di Chicago dan sekitarnya (8 persen dari seluruh umat Islam di AS). Politisi AS yang ingin berkampanye Chicago mau tidak mau harus ''melamar'' komunitas Muslim yang berpengaruh tersebut.
Komunitas Islam di Chicago juga mandiri dan aktif melakukan kegiatan sosial. Menurut Amina, yang didampingi sekitar 20 tokoh masyarakat di daerah tersebut, mereka mempunyai program mengirim pramuka Muslim yang bekerja sama dengan McDonald's untuk membantu kelompok ekonomi sulit, dari berbagai agama. ''Dengan sikap toleransi, sesuai ajaran kita, alhamdulillah penduduk setempat dapat menerima kita.''
Saya menyatakan bahwa di Indonesia toleransi dibudayakan sejak dini, termasuk dalam kurikulum sekolah. Saya mencontohkan bahwa keponakannya saya, Indy, yang bersekolah di SD Al Izhar harus menjawab ulangan yang pertanyaannya antara lain:
Apakah Anda merayakan Lebaran dapat menerima tamu dari agama lain?; Apabila tetangga yang beragama Kristen merayakan Natal, apakah Anda akan mengucapkan selamat?; dan sebagainya.
Mereka tidak mau kalah. ''Kami juga.'' Pengetahuan umum mengenai agama-agama lain diajarkan di kelas. Seorang guru menceritakan bahwa setelah peristiwa 11 September, banyak siswa Islamic Foundation yang merasa bingung dan trauma.
Karenanya, guru-guru Muslim segera berdialog dengan siswa untuk membahas mengenai hubungan antara Muslim dan non-Muslim, serta menekankan tradisi kedekatan (closeness) dan toleransi antara umat Islam dan pengikut agama lainnya.
Sejak itu pula, Islamic Foundation lebih sering melakukan kegiatan antaragama. Mereka membentuk Komite Dakwah yang bertugas sebagai komite perantara antara komunitas Islam dan masyarakat setempat, antara lain dengan program mengundang siswa sekolah-sekolah negeri lain beserta orang tua mereka agar mereka lebih memahami jati diri Islam yang sebenarnya: Penuh semangat kedamaian, persaudaraan, dan kaya budi pekerti.
Karim Irfan, ketua CIOGC, menyatakan bahwa sepanjang sejarah AS, baru kinilah masyarakat AS ter-ekspos terhadap Islam dan kaum Muslim. Islam kini bukan saja sesuatu hal yang abstrak dan berada di luar perbatasan AS, namun adalah bagian yang nyata dari masyarakat AS sendiri, walaupun ini baru terkonsentrasi di beberapa negara bagian (terutama Illinois, New York, dan California), namun di jajaran militer AS sendiri kini ada 10 ribu Muslim.
Hal ini, lanjut Karim, menimbulkan ''maturitas'' komunitas Muslim di AS dan pengakuan di masyarakat AS terhadap kekuatan mendasar komunitas Islam kami (inherent power of our community) yang pada akhirnya akan mengubah konstelasi politik, sosial, dan ekonomi AS.
Sebegitu tingginya kepercayaan diri komunitas Islam sehingga mereka dapat mendorong balik (push back) gerakan kelompok tertentu yang cenderung tidak toleran terhadap Muslim.
Peserta dialog lain menimpali bahwa sangat sedikit bahkan hampir tidak ada warga Muslim AS yang terlibat terorisme, dan bahkan kalau dihitung lebih banyak teroris warga AS yang berasal dari kelompok lain, misalnya gerakan supremasi kulit putih.
Yang menyentuh hati adalah pandangan mereka terhadap Indonesia, yang menurut seorang peserta adalah '''shining example of an Islamic community worldwide". Peserta lain menyatakan bahwa Islam di mana-mana sama, dari Arabia ke Amerika, namun umat Islam di Indonesia mempunyai peran dan tradisi yang unik. Apa yang dilakukan umat Islam di Indonesia dipantau umat Islam sedunia dan dijadikan takaran sekaligus cermin bagi conscience umat muslim di mana pun.
Dialog selama dua jam di Chicago bukan saja memberikan potret baru mengenai komunitas Islam di Amerika, tapi juga membuat saya merenung mengenai kekuatan Islam dalam dunia yang selalu berubah.
Saya terkesan melihat kemampuan komunitas Islam ini untuk menciptakan keserasian antara Islam dan modernitas, antara keteguhan iman dan penguasaan teknologi, antara dunia Islam dan dunia Barat, antara generasi pertama dan generasi kedua, antara kebutuhan duniawi dan akhirat.
Yang paling menarik adalah kemampuan komunitas Muslim di Chicago untuk beradaptasi dengan lingkungan setempat sehingga mendapat ''pengakuan'' dari masyarakat setempat.
Mereka meningkatkan pengaruh di masyarakat Chicago yang sebelumnya buta Islam bukan dengan mengepalkan tinju, bukan dengan mengucilkan diri atau mengurung diri, dan bukan juga dengan kekerasan, namun dengan membangun jaringan dan memberdayakan diri.
Mereka dengan cerdik memanfaatkan sistem politik dan ekonomi di AS untuk menampilkan diri sebagai kelompok sospol yang disegani. Mereka tampil menjadi aktor ekonomi yang mandiri dan penuh percaya diri, yang tidak mengemis namun justru memberi kepada masyarakat sekitarnya. Dengan cara begitu, mereka secara proaktif mengubah pandangan masyarakat Amerika terhadap Islam, dan mengubah Amerika.
Saya melihat ini sebagai kelanjutan dari 14 abad sejarah Islam. Ingat: Islam dengan pesat berubah dari agama yang tumbuh di sekitar kota Makkah dan Madinah menjadi suatu peradaban dunia yang paling tinggi, yang menjalar di seluruh Timur Tengah, Byzantium, Persia, Ottoman, Spanyol, Italia, Eropa Timur, Asia Selatan, Asia Tenggara, bahkan ke Cina.
Islam melakukan hal yang fantastis ini dengan cara berkembang, berkarya, beradaptasi, dan berakar. Dalam semua ini, kejayaan Islam diukur bukan dari jumlah musuh yang ditaklukkannya, namun dalam kemampuannya untuk membuka hati serta meningkatkan martabat manusia.
Hal yang paling nikmat dari pertemuan di Chicago tersebut terjadi di akhir diskusi, ketika kita semua bersama-sama sholat berjamaah di masjid Islamic Foundation yang bernuansa Islam dan modern.
Dalam acara tersebut, tidak ada lagi ''pengkotakkan'' warga Indonesia, Amerika, Pakistan, atau India, yang ada hanyalah sesama saudara Muslim yang melakukan ibadah dengan tenteram di rumah Allah SWT. Artikel ini merupakan pandangan pribadi.
*Naskah ini adalah artikel Dino Pati Djalal yang diterbikatn Harian Republika Desember 2003. Saat itu menjabat sebagai Direktur Amerika Utara dan Tengah, Departemen Luar Negeri.