Pemerintah Fokus Pulihkan Ekonomi Nasional Mulai Kuartal III
Sri Mulyani memprediksi ekonomi Indonesia akan kontraksi 3,1 persen pada kuartal II.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA – Menteri Keuangan Sri Mulyani menyebutkan, fokus pemerintah sekarang adalah menjaga agar terjadi pemulihan ekonomi pada kuartal ketiga dan keempat. Hal ini mengingat ekonomi hampir dipastikan mengalami kontraksi pada kuartal kedua seiring restriksi aktivitas ekonomi dan sosial untuk mencegah penyebaran virus Covid-19.
Sri memprediksi, pada kuartal kedua, akan terjadi kontraksi 3,1 persen. Dengan begitu, sepanjang tahun, pemerintah memprediksi ekonomi tumbuh pada kisaran minus 0,4 persen sampai satu persen. Batas atas proyeksi mengalami penurunan dari prediksi semula, 2,3 persen, seiring kontraksi periode April hingga Juni.
Sri juga berharap, kondisi April dan Mei yang mengalami tekanan akan menjadi kondisi terburuk sehingga sudah ada perbaikan pada Juni dan Juli. "Momentumnya jadi bisa terjaga di kuartal ketiga dan keempat. Ini fokus langkah pemerintah dalam menggunakan instrumen kebijakan saat ini," ujarnya dalam Rapat Kerja dengan Komisi XI DPR, Senin (22/6).
Tidak hanya pemerintah, Sri memastikan akan melibatkan bank sentral untuk mengawal momentum pemulihan pada kuartal ketiga dan keempat. Keterlibatan Bank Indonesia (BI) dari sisi moneter diharapkan dapat mengakselerasi pemulihan. Dampaknya, timbul kepercayaan diri untuk mencapai pertumbuhan 4,5 persen hingga 5,5 persen pada tahun depan.
Sementara itu, Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Suhariyanto menilai, indikator-indikator ekonomi yang sudah terjadi hingga Mei menunjukkan kontraksi pada kuartal kedua adalah hal pasti. Di antaranya, pertumbuhan ekonomi pada kuartal pertama yang hanya 2,97 persen, di bawah perkiraan pemerintah.
Suhariyanto mengatakan, pertanyaannya saat ini adalah seberapa dalam kontraksi tersebut. Merujuk pada Trading Economics, kontraksi dapat menyentuh hingga minus 4,8 persen. "Bahkan ada yang prediksi minus tujuh persen," tuturnya.
Indikator lain yang disebutkan Suhariyanto adalah penurunan penjualan mobil. Pada April hingga Mei 2020 saja, penjualannya sudah turun 93,21 persen dibandingkan periode yang sama pada tahun lalu. Penurunan ini dalam dibandingkan kuartal pertama yang mengalami kontraksi 6,88 persen dibandingkan kuartal pertama 2019.
Begitupun dengan penjualan motor yang dinilai Suhariyanto lebih merepresentasikan pengeluaran golongan menengah ke bawah. Pada April, penjualannya turun hingga 79,31 persen dibandingkan April 2019. "Jadi, memang dalam sekali," katanya.
Demikian juga dengan impor bahan baku. Pada April-Mei 2020, terjadi penurunan 30,63 persen dibandingkan periode yang sama pada 2019. PMI Manufaktur pun masih berada pada level 27,5 pada April dan 28,6 pada Mei, jauh dari batasan ekspansi yang ditetapkan berada pada tingkat 50,0.
Suhariyanto mengatakan, gambaran buram juga terlihat dari sisi pengeluaran dengan seluruh komponen mengalami penurunan cukup dalam pada kuartal pertama. Khusus konsumsi rumah tangga, terjadi penurunan signifikan, dari 5,02 persen pada kuartal pertama 2019 (yoy) menjadi 2,84 persen pada kuartal pertama 2020 (yoy).
Suhariyanto menjelaskan, penyebabnya adalah terjadi penurunan permintaan yang dalam untuk konsumsi non makanan. Pertumbuhan konsumsinya drop dari 4,7 persen ke 1,38 persen pada kuartal pertama tahun ini. "Karena penurunan konsumsi pakaian, alas kaki, transportasi, komunikasi, penjualan motor dan mobil dan sebagainya," ujarnya.
Nilai transaksi elektronik seperti kartu kredit dan debit juga mengalami kontraksi lebih dalam. Dari semula kontraksi 1,07 persen pada kuartal pertama menjadi kontraksi 18,96 persen pada periode April hingga Mei.
Situasi yang tidak kalah buruk terlihat dari jumlah penumpang angkutan udara. Pada kuartal pertama, indikator ini kontraksi 13,62 persen yang kini sudah mencapai negatif 87,91 persen.
"Dengan memperhatikan indikator-indikator ini, kita bisa perkirakan akan cukup dalam kontraksi pada kuartal kedua," tutur Suhariyanto.