Tantangan Relawan Mengedukasi Pedagang Pasar Tebet
Harusnya, akses masuk dan keluar pasar dibatasi untuk mengontrol lalu-lintas manusia.
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA –- Ada pemandangan tidak biasa di kios daging Pasar Tebet, Jakarta Selatan, beberapa hari lalu. Di antara daging-daging yang bergelantungan di lantai basement, satu cantelan bukan digunakan menggantukan daging jualan, tetapi buat menggantung face shield yang baru saja diterima dari relawan Gugus Tugas Covid-19.
Pada Rabu (15/6), Tim Relawan Gugus Tugas Covid-19 di bawah koordinator Andre Rahadian menggelar baksos di Pasar Tebet. Para relawan menyisir mulai pedagang, mulai lantai basement (sayuran, daging, sembako), lantai satu (kosmetik, stationery, elektronik), lantai dua (pakaian, toko mas, dan toko plastik), serta lantai tiga (penjahit, dan aneka jasa servis).
Selain dibagikan masker, pedagang juga diberi face shield dan hand sanitizer. Para relawan juga mengimbau untuk tetap menjaga jarak dan melaksanakan protokol kesehatan. Para relawan yang umumnya terdiri dari warga sekitar Tebet, antusias melaksanakan tugas. Mereka masuk ke los-los pasar.
“Baksos ini kami selenggarakan selama 14 hari. Para relawan selain membagikan face shield dan hand sanitizer, juga mengajak para pedagang dan pembeli untuk selalu mengenakan masker, menjaga jarak, mencuci tangan dengan sabun, dan tidak mengusap wajah, terutama bagian mulut, hidung, dan mata,” ujar Andre di Jakarta, senin (22/6).
Waktu dua pekan diperlukan untuk mengukur perubahan perilaku pedagang dan pembeli pasar. Program tersebutjuga didukung Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. “Memang, pada hari-hari pertama, masih banyak yang membandel. Meski sudah menerima face shield tetapi hanya dipakai sebentar, setelah itu dilepas. Alasannya pengap,” ujar Andre.
Seperti yang dikeluhkan pedagang sayur, Yuni. Saat ditanya, mengapa face shield tidak dikenakan? “Ribet dan pengap...,” tukasnya seraya melempar tanya, “Kalau salah satu saja boleh nggak?” Yang Yuni maksud adalah, pilihan salah satu antara memakai masker atau face shield.
Relawan dengan sabar memberi pengertian pentingnya face shield karena berhadapan dengan banyak pembeli.
Keluhan Yuni, sama dengan Sutrisno, penjual daging yang juga mengaku tidak nyaman jika harus memakai masker plus face shield. Tapi beda dengan Muhammad, yang penjual beras. Ia mengaku nyaman-nyaman saja memakai masker dan face shield sekaligus. Lokasinya yang dekat dengan area parkir, membuat ia merasa tidak merasa pengap. Beda dengan lokasi berjualan Yuni dan Sutrisno yang lebih ke dalam.
Toh, pedagang (dan pembeli) tidak punya pilihan lain. Mereka harus mengikuti protokol kesehatan. Mereka harus beradaptasi dengan kebiasaan baru. Berusaha untuk beraktivitas tetapi dengan kesadaran tinggi, bahwa virus corona belum hilang dari sekitarnya.
Menurut Andre, para relawan melaporkan bahwa hari pertama mereka turun ke pasar PSPT Tebet, banyak dijumpai pedagang yang memakai masker sekadar 'basa-basi'. Padahal, saat itu, pukul 08.00 WIB, kondisi pasar sedang ramai. “Siang pukul 12.00 WIB, kondisi pasar sudah mulai lengang. Beberapa pedagang melepas face shield. Benar-benar tidak mudah untuk mengubah kebiasaan,” keluh Andre.
Tim relawan yang membuka posko di halaman pasar, memasang standing banner serta menyebar brosur sosialisasi, juga mendapati banyak hal perlu dibenahi di Pasar Tebet. Misalnya, peletakan barang dagangan yang cenderung semrawut, mengakibatkan akses jalan menjadi semput. “Beruntung, kami juga didampingi pengurus PD Pasar Tebet. Mereka spontan menertibkan dagangan yang semrawut,” ucapnya.
Andre juga mencatat, masih terlalu banyak akses masuk ke pasar yang dibuka. Harusnya, akses masuk dan keluar pasar lebih dibatasi untuk mengontrol lalu-lintas manusia. “Kami juga mendapat informasi, petugas Satpol PP setiap hari beroperasi di lingkungan pasar untuk menertibkan masyarakat yang tidak mengenakan masker,” katanya.
Informasi lain adalah, adanya pasar kaget tak jauh dari lokasi Pasar Tebet. Kegiatan pasar kaget dimulai habis Subuh, sekitar pukul 05.00 WIB sampai sekitar pukul 09.00 WIB.