Komunikasi Transparansi, Mengupayakan Keadilan Kasus Novel

kasus Npve;

ANTARA/Aprillio Akbar
Penyidik KPK Novel Baswedan selaku korban menjadi saksi dalam sidang lanjutan kasus penyiraman air keras terhadap dirinya dengan terdakwa Ronny Bugis dan Rahmat Kadir Mahulette di Pengadilan Negeri Jakarta Utara, Jakarta, Kamis (30/4/2020). Sidang tersebut beragenda mendengarkan keterangan saksi
Red: Muhammad Subarkah

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Verdy Firmantoro, Peneliti Indopol Survey & Mahasiswa Program Doktoral (S3) Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Indonesia
   
Tuntutan ringan hanya satu tahun penjara pada para pelaku penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan sontak membuat publik heran dan merasa janggal. Pasalnya praktik kekerasan itu bukan sekadar melukai fisik penyidik KPK tersebut, melainkan disinyalir mencederai nurani keadilan, serta masa depan penegakan korupsi di negeri ini.


Pada saat yang sama, beberapa waktu terakhir ini RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) sempat diproses. Terlepas RUU tersebut juga menuai pro kontra, upaya menjaga kedaulatan dan memastikan parameter kebijakan yang dibuat sesuai dengan nilai-nilai Pancasila menjadi orientasi bersama. Persoalannya, masih adakah Pancasila itu di negeri ini?

Saat keadilan yang seharusnya ditegakkan oleh para penegak hukum justru ada kecenderungan dilemahkan sendiri. Padahal, muara akhir dari tuntasnya ke-Pancasila-an kita adalah dengan terwujudnya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Tulisan James W. Carey tentang Communication as Culture (2009), menyebutkan bahwa keadilan menjadi salah satu unsur yang penting dalam memenuhi pencapaian kualitas demokrasi. Lebih lanjut Carey menjelaskan bahwa pemenuhan keadilan dalam perspektif komunikasi berkaitan dengan upaya maintenance of society yang mengarah pada representasi kepercayaan bersama (representation of shared beliefs). Poinnya adalah, setiap tindakan yang diambil selalu diuji terkait sejauhmana dapat mencerminkan kepercayaan bersama atau justru sebaliknya.

Hal tersbut misalnya, dalam konteks penanganan kasus Novel Baswedan, kesepahaman bersama antara publik dengan penegak hukum belum terjadi. Di sinilah potensi persoalan timbul, ketika para penegak hukum pada dasarnya bukan sekedar berhadapan dengan para pelaku dan korban dalam kasus tersebut, tetapi lebih luas berhadapan dengan publik. Publik dalam hal ini tengah menuntut keadilan, jika tidak dipenuhi, bukan tidak mungkin mereka akan menggunakan jalur-jalur lain demi tercapainya kehendak bersama itu.

Potensi Absennya Pancasila dan Anomali Penegakan Keadilan Kasus Novel

Hakikat kedaulatan Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara terletak pada sejauhmana teraktualisasikannya setiap sila-sila di dalamnya. Pancasila bukan sekedar lambang negara, ia menjadi kompas kehidupan bagi warganya. Lantas jika nilai-nilai di dalamnya tidak hidup, bahkan yang terjadi sebaliknya, keadilan terkooptasi atau terkoyak oleh praktik-praktik yang justru mendegradasi penegakkan hukum. Apakah layak jika kondisi seperti ini kita sebut bahwa Pancasila tidak sedang hadir di “bumi manusia”?

Kasus Novel Baswedan sebenarnya sudah lama, terhitung sejak tahun 2017. Kasus ini mendapat sorotan publik, karena peran Novel sebagai penyidik senior KPK yang tentu mempunyai kewenangan dalam menegakkan pemberantasan korupsi di Indonesia.

Persoalannya tentu bukanlah perkara mudah, bekerja di jalur sunyi, mengusik kenyamanan para penguasa yang terlibat kasus korupsi. Sederhananya, profesi ini mengundang banyak musuh, yakni para pihak yang merasa terancam dengan kehadiran lembaga anti rasuah. Mereka mempunyai kepentingan besar yang barangkali tidak ingin korupsinya diungkap atau bahkan ditindak.

Seperti halnya dalam studi Antoni (2013) bahwa hubungan dalam praktik korupsi bersifat saling mengunci (interlocking directorate). Hal tersebut dapat dimaknai bahwa kohesivitas para elite kapitalis, tidak kalah kompak dengan praktik gotong royong ala masyarakat paguyuban. Bedanya, yang satu bekerjasama mengeruk uang negara, yang satu bergandengan tangan membangun bangsa.

Tuntutan satu tahun penjara atas penyerangan Novel dengan dalil jaksa bahwa para pelaku melakukannya secara tidak sengaja menggambarkan adanya potensi absennya Pancasila dalam penegakkan keadilan terhadap kasus tersebut. Pancasila dianggap absen, bukan karena para penegak hukum tidak hafal sila-silanya, tetapi belum tuntas menghayati dan mengamalkan dalam laku kebijakannya. Jadi, asumsinya selengkap apa pun upaya merancang perundangan haluan ideologi Pancasila, selama tidak ada komitmen dan integritas dari para pemangkunya terutama para penegak hukumnya, sepanjang itu pula hakikat Pancasila akan absen dan hanya menjadi sebuah utopia.


Setelah sekian lama kasus penyiramaan air keras terhadap Novel tidak mengemuka, kini kembali mengudara. Tuntutan jaksa satu tahun kepada para pelaku dengan dalih hal tersebut dilakukan dengan tidak sengaja memancing kecurigaan publik. Lebih lanjut, logika penegak hukum memvonis tindakan kriminal pelaku penyiraman hanya dengan pasal penganiayaan.

Melihat hal tersebut, seolah ada yang tidak masuk akal (make sense) untuk diterima dalam logika publik bahwa tuntutan tersebut dianggap wajar-wajar saja. Tidak salah jika publik kemudian banyak berandai-andai atau menduga-duga bahwa ada yang bermasalah dalam penanganan kasus ini.

Ketika logika penegak hukum dengan logika publik tidak sama, ada kesenjangan di sana yang patut diurai lebih lanjut. Penegak hukum akan dimintai pertanggungjawabannya oleh publik. Dalil-dalil konstitusi yang menjadi dasar acuan memutuskan perkara, bukan sekedar tafsir bebas yang bisa dimonopoli kebenarannya oleh pihak-pihak tertentu saja. Parameter kebenaran itu jelas yakni berpihak pada keadilan. Jika kebenaran dirampas, maka keadilan terhempas.

James W. Carey (2009) juga sepakat bahwa tatanan sosial yang baik hanya akan tercapai dengan kebenaran yang tidak terkontaminasi (uncontaminated truth). Upaya mengawal keadilan menjadi tanggung jawab bersama. Perbedaan logika penegak hukum dengan logika publik akan berdampak luas. Jika masalah ini tetap “dipaksa” selesai dengan tuntutan yang masih “janggal” tanpa pembuktian dan pertanggungjawaban yang logis, sebagai bentuk menyamakan frekuensi logika penegak hukum dengan logika publik, bukan tidak mungkin hal tersebut menjadi preseden buruk bagi penegakkan keadilan di Indonesia.


Komunikasi Transparansi untuk Keadilan

Tuntutan terhadap pelaku penyiraman Novel dipersepsi janggal oleh publik akibat belum adanya transparansi yang optimal. Saat tiba-tiba, tuntutan muncul hanya satu tahun penjara, setelah sekian lama simpang siur, tentu menghentak publik. Proses-proses penyelidikan oleh kepolisian maupun pengungkapan yang dilakukan oleh Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) belum memberikan kepuasan publik bahwa kasus ini benar-benar diproses sesuai  harapan.

Tingkat kepercayaan publik menjadi indikator utama dalam mempersoalkan transparansi suatu kebijakan. Banyak sekali studi yang telah menyoroti terkait persoalan transparansi, sebut saja di antaranya: Hood & Heald (2006) tentang Transparency: The Key to Better Governance; Faulconer & Dashaw (2013) tentang Government Transparency and Secrecy: Measures, Access, and Policy; dan Meijer, Grimmelikhuijsen, Nell, & Lentz (2014) tentang Organizational Arrangements for Targeted Transparency.

Sejumlah studi tersebut menyepakati bahwa transparansi menjadi elemen yang vital dalam menentukan sejauhmana setiap penyelenggaraan kebijakan publik dapat berjalan dengan baik atau tidak. Bahkan, Meijer (2013) menekankan bahwa dalam mengoptimalkan transparansi tidak boleh ada yang ditutupi atau disembunyikan di setiap prosesnya, atau jika menggunakan istilah Davis (1998) dalam tulisannya Access to and Transmission of Information mengarahkan perlunya mengungkap tabir kerahasiaan “lifting the veil of secrecy”.

Publik dalam hal ini harus diberikan informasi yang terang benderang, sehingga transparansi dari penegak hukum dapat menghindarkan dari persepsi negatif atau dugaan kejanggalan.

Seperti halnya apa yang dilakukan Bintang Emon dalam narasi satire humornya yang berjudul “Ga sengaja” merupakan salah satu representasi ketidakpuasan publik atas penegakkan keadilan kasus penyiraman air keras terhadap Novel. Hal tersebut juga relevan dengan pandangan Miriam Nisbet (2012), seorang Director of the Office of Government Information Services (OGIS) atau Freedom of Information Act Ombudsman Amerika Serikat mengatakan di abad 21 penggunaan teknologi dapat meningkatkan transparansi.

Dalam konteks ini, satire humor Bintang Emon menjadi bagian dari partisipasi aktif publik untuk memberikan kontrol sosial sebagai upaya meminta pertanggungjawaban penegak hukum terkait dengan kebijakannya di satu sisi dan mendorong keadilan ditegakkan di sisi yang lain.

Mengingat dalam transparansi ada tiga hal yang perlu diperhatikan, meliputi transparansi pengambilan kebijakan (decision-making transparency), transparansi konten kebijakan (policy content transparency) dan transparansi hasil kebijakan (policy outcome transparency) (Grimmelikhuijsen & Welch, 2012). Melalui bentuk-bentuk transparansi tersebut, setiap proses dan hasil kebijakan dapat dikomunikasikan untuk diuji kebenarannya oleh publik, sehingga dapat memenuhi unsur terwujudnya keadilan sebagai bagian dari upaya membumikan Pancasila.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Berita Terpopuler