Perlu Ada Rantai Pangan yang Adil buat Petani
dalam konteks pembelaan terhadap petani padi, tidak bisa lagi dengan pendekatan lama
REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Koordinator Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) Said Abdullah mengatakan KRKP mendukung berbagai inisiatif untuk membuat rantai pangan yang lebih berkeadilan dan menyejahterakan bagi petani.
"KRKP sendiri berkembang pemikiran bahwa dalam konteks pembelaan terhadap petani padi, tidak bisa lagi dengan pendekatan lama," ujar Said dalam keterangannya di Jakarta, Ahad (16/8).
Dia menambahkan dulu membayangkan kalau petani padi, diorganisir menjadi satu kelompok kemudian meningkat produksinya secara teknis.
Ternyata peningkatan produksi saja tidak cukup. Lalu persoalan berikut adalah bagaimana mengorganisir pemasaran bersama supaya mereka punya nilai lebih.
"Petani itu nggak bisa juga, karena orientasi mereka produksi dipaksa masuk wilayah yang secara nature bukan mereka," jelas dia.
Oleh karena itu diperlukan kelembagaan baru. "Teman-teman bikin unit pemasaran. Teman-teman memperpendek rantai pasar sehingga langsung ke konsumen," ujar Ayip.
Dia menegaskan saat ini pendekatan pembangunan pertanian memang harus diarahkan pada memperkuat taraf hidup petani. Proses usaha tani diakui masih membutuhkan pendampingan.
Oleh karena itu, harus ada proses kemitraan yang kuat, seperti yang sudah dilakukan Jaker PO di Ngawi dan perusahaan rintisan pertanian seperti di TaniHub. Di Indonesia sendiri, upaya-upaya ini memang sudah mulai dibangun.
"Hanya saja, saat ini model kemitraannnya masih transaksional. Harusnya kemitraan yang didorong adalah basis kepemilikan," tegas Ayip.
Dia menandaskan seringkali model transaksional menepatkan petani masih dalam di posisi bawah perusahaan.
"Jika kepemilikan, petani sama-sama seimbang dengan perusahaan. Bisa jadi model yang dikembangkan Tani Hub bisa dikembangkan bersama Jaker PO bagaimana sistem kemitraan yang inovatif."
Perlu ada hubungan di level baru pada kemitraan. Saat ini, kata dia, belum ada ruang pengaduan, mediasi, bahkan bisa jadi peraturan untuk melindungi petani maupun swasta.
"Saat ini masih diabaikan, sehingga perlu ada terobosan dengan basis kepemilikan dan ada payung hukum di pemda," paparnya.
Ayip menegaskan, kemitraan yang muncul mestinya berpaku pada enam prinsip dasar partisipatif. Pertama, ada proses diskusi atas kebutuhan petani maupun private sector sendiri. Kedua, kepatutan, yaitu secara sosial, ekonomi, lingkungan, harus patut. Ketiga, prinsip akuntabilitas. Keempat, tranparansi. Kelima, efisiensi dan keenam memadukan profit dan benefit.
"Saya pikir teman-teman TaniHub dan Jaker PO bisa mengurangi disparitas itu. Bukan berarti selama ini yang dilakukan tidak punya makna, bisa saja bermakna, tapi perlu terobosan baru dan yang dilakukan teman-teman menjadi menarik," tegas Ayip.
Ia juga mendorong agar generasi muda mau terjun ke bidang pertanian.
Perwakilan Jaker PO Eko Budhi memaparkan Ngawi adalah wilayah pertanian yang merupakan salah satu penyangga produksi pangan bagi wilayah di sekitarnya. Ngawi memiliki lahan sawah seluas 50 ribuan hektare dengan hasil panen mencapai 780 ribu ton gabah per tahun. Sementara, kebutuhan konsumsi masyarakat Ngawi hanya sebesar 92 ribuan ton per tahun, sehingga terdapat surplus yang besar dan "diekspor" keluar daerah.
"Dengan kondisi demikian pertanian mampu berkontribusi pendapatan daerah hingga 38 persen, " jelas Eko.