Hijrah Sepanjang Masa dan Faktor Penentu Keberhasilannya
Hijrah pada dasarnya adalah perpindahaan ke arah baik sepanjang masa.
REPUBLIKA.CO.ID,
*Oleh Prof Syihabuddin Qalyubi
Hijrah Nabi Muhammad SAW dari Makkah ke Madinah merupakan momentum yang menentukan dan salah satu peristiwa yang sangat penting dalam kehidupan Islam dan Muslimin. Oleh karenanya makna dan ibrah yang bisa diambil dari peristiwa itu perlu dibaca ulang agar umat Islam dapat menggunakannya sebagai suri tauladan di sepanjang masa.
Jika ditelusuri secara mendalam pemaknaan hijrah secara etimilogi beragam sekali, sebagian memknainya al-intiqāl min makān ilā makān au al-intiqāl min hāl ilā hāl (pindah dari satu tempat ke tempat lainnya atau dari satu keadaan ke keadaan lainnya). Ar-Ragīb al-Ashfahāni menjelaskan hijrah adalah berpisahnya seseorang dengan yang lainnya, baik secara fisik, perkataan maupun hati.
Secara terminologi yang sudah lazim diketahui secara umum hijrah adalah kegiatan perpindahan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW bersama para sahabat beliau dari Makkah ke Madinah, dengan tujuan mempertahankan dan menegakkan risalah Allah yang terjadi pada 622 M. Sebagaimana yang dimaksudkan dalam firman Alah SWT dalam surat at-Taubah ayat ke-100:
وَٱلسَّٰبِقُونَ ٱلْأَوَّلُونَ مِنَ ٱلْمُهَٰجِرِينَ وَٱلْأَنصَارِ وَٱلَّذِينَ ٱتَّبَعُوهُم بِإِحْسَٰنٍ رَّضِىَ ٱللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا۟ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّٰتٍ تَجْرِى تَحْتَهَا ٱلْأَنْهَٰرُ خَٰلِدِينَ فِيهَآ أَبَدًا ۚ ذَٰلِكَ ٱلْفَوْزُ ٱلْعَظِيمُ
“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. Mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar.” (QS at-Taubah: 100)
Alquran telah menyebutkan diksi hijrah dan berbagai derivasinya sebanyak 32 kali yang tersebar dalam 27 ayat dan 17 surah, sehingga pemaknaannya pun jika diteliti secara mendalam ada perbedaan, tergantung format kata dan struktur kalimatnya.
Antara lain bermakna berpindah dari satu tempat ke tempat lain, bermakna orang-orang yang berhijrah (muhajirin), sesuatu yang diacuhkan, meninggalkan sesuatu, dan bermakna menjauhi sesuatu yang tidak mengenakkan hati atau jasmani (fisik).
Dalam konteks sekarang kata hijrah bisa bermakna lain lagi, sebagaimana pendapat Abdullah Yusuf Abu ‘Ulyān dalam bukunya al-Hijrah ilā balad gair al-Muslimīn, bahwa hijrah secara umum adalah perpindahan penduduk, individu atau kelompok dari tempat tinggalnya ke tempat lain untuk jangka waktu tertentu.
Mereka mungkin melintasi batas administratif dan negara antara dua wilayah dengan motivasi politik, keilmuan, atau keamanan. Sehingga hijrah itu bisa bermakna urbanisasi, transmigrasi, ataupun imigrasi. Dengan demikian diksi hijrah maknanya bisa berubah karena ada faktor-faktor yang menjadikan maknanya berubah.
Dalam semantik atau ‘ilm a’-dalālah disebut taghyīr al-ma’na. Bahasa Arab sebagai alat untuk berkomunikasi ditemukan banyak diksi yang mengalami perubahan makna, seperti al-dabbābah makna asalnya hewan merayap berubah menjadi tank, al-jarāid makna asalnya pelepah kurma menjadi surat kabar. Perubahan makna diksi itu kita jumpai juga dalam ayat Alquran, seperti kata al-sayyārah dalam firman Allah SWT:
قَالَ قَآئِلٌ مِّنْهُمْ لَا تَقْتُلُوا۟ يُوسُفَ وَأَلْقُوهُ فِى غَيَٰبَتِ ٱلْجُبِّ يَلْتَقِطْهُ بَعْضُ ٱلسَّيَّارَةِ إِن كُنتُمْ فَٰعِلِينَ
“Seorang diantara mereka berkata: "Janganlah kamu bunuh Yusuf, tetapi masukkanlah dia ke dasar sumur supaya dia dipungut oleh beberapa orang musafir, jika kamu hendak berbuat.” (QS Yusuf: 10)
Kata as-sayyārah dalam ayat itu artinya musafir (orang yang mengadakan perjalanan), pada masa sekarang diksi itu artinya mobil, namun demikian makna as-sayyārah dalam ayat tersebut tetap tidak berubah.
Mungkin muncul pertanyaan bagaimana memahami diksi hijrah yang marak dipakai sekolompok masyarakat di Indonesia sekarang ini yang beranggapan hijrah itu perpindahan atau perubahan seseorang atau sekelompok orang dari yang sebelumnya tidak atau jarang melaksanakan ajaran Islam menjadi rajin dan tekun melaksanakannya.
Untuk menjawabnya diperlukan penelitian di lapangan secara mendalam. Namun jika ditelusuri secara etimologis ada pemaknaan yang bisa menampung makna itu. Karena hijrah itu bukan semata-mata perpindahan tempat tinggal tetapi bisa juga perpindahan dari suatu keadaan ke keadaan lainnya (yang lebih baik) sesuai dengan sabda Rasulullah SAW:
وَالْمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللهُ عَنْهُ.
“Orang yang hijrah adalah orang yang meninggalkan apa yang dilarang Allah SWT.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Abdurrauf al-Munawi, pakar hadits dari Mesir mengatakan bahwa hijrah secara hakiki mengandung makna sangat global yakni tarkul manhiyyāt, meninggalkan berbagai larangan agama. Karenanya, hijrah sejatinya tidak terbatas pada perpindahan yang bersifat lahiriah, namun juga mencakup perpindahan atau perubahan yang bersifat batiniah. Sehingga hijrah bisa dilakukan sepanjang masa.
Adapun jika hijrah dimaksudkan untuk makna lain misalnya sebagai cara untuk menaikkan popularitas, sebagai sarana membuat sensasi, melakukan gimmick di media, atau komodifikasi agama (menjadikan agama sebagai komoditas). Itu semua berpulang kepada diri pribadinya masing-masing seraya memperhatikan sabda Rasulullah SAW:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى، فَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ فَهِجْرَتُهُ إِلَى اللَّهِ وَرَسُولِهِ، وَمَنْ كَانَتْ هِجْرَتُهُ لدُنْيَا يُصِيبُهَا أَوْ امْرَأَةٍ يَنْكِحُهَا فَهِجْرَتُهُ إِلَى مَا هَاجَرَ إِلَيْهِ
“Sesungguhnya setiap amalan tergantung pada niatnya. Dan setiap orang akan mendapatkan apa yang ia niatkan. Siapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya untuk Allah dan Rasul-Nya. Siapa yang hijrahnya karena mencari dunia atau karena wanita yang dinikahinya, maka hijrahnya kepada yang ia tuju itu.” (HR Bukhari no 1 dan Muslim no 1907).
Selamat memperingati Tahun Baru Hijriyah 1442. Kullu ām wa antum bi Khair
*Guru besar Fakultas Adab dan Ilmu Budaya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta