Ternyata Muhammad SAW Pernah Menjejakkan Kaki ke Gaza
Muhammad SAW sebelum menjadi nabi dan rasul pernah mengunjungi Gaza
REPUBLIKA.CO.ID, Gaza menjadi kota terakhir di Pantai Levantine yang tunduk kepada Kristen. Sekitar 63 tahun setelah Kaisar Romawi Konstantin menjadikan Kristen sebagai agama resmi negara, Uskup Porphyrius tiba di Gaza dan melihat kenyataan bahwa pedagang di kota itu masih menganut Helenistik di sebuah kuil kubah yang terkenal. Pada akhir pecahnya kekuasaan Romawi, Gaza mulai dikuasai pedagang Arab dari Makkah.
Pada tahun-tahun sebelum kenabiannya, Muhammad diyakini pernah mengunjungi Gaza lebih dari sekali. Pada awal usia 20 tahun, Muhammad tiba di Gaza saat musim panas sembari membawa barang dagangan. Lalu, 30 tahun kemudian, ketika Bizantium mulai menyerang pinggiran jazirah Arab, Nabi mengetahui bahwa Gaza memegang kunci untuk menguasai Palestina dan Mesir.
Gaza pun dikuasai pasukan yang dipimpin Amr ibn al-Ash pada 634 M saat kekhalifahan dipegang Umar bin Khattab. Islam secara bertahap menambahkan dimensi baru pada perdagangan Gaza, yaitu menjadi jalur ibadah haji. Muslim dari Afrika Utara menemukan perjalanan yang aman di sepanjang Via Maris, rute dagang kuno antara Mesir dan Suriah. Jamaah haji dari utara Palestina menyukai rute pesisir melalui Gaza ke Jalan Raja di sepanjang Sungai Yordan. Para peziarah dan jamaah haji juga memilih Gaza sebagai tempat transit.
Para peziarah Kristen juga melewati dan menelusuri kembali jejak Bunda Maria, Yusuf, dan bayi Yesus sepanjang Via Maris di Gaza menuju Mesir. Sedangkan, jamaah haji melalui jalur yang sama untuk mengunjungi makam kakek buyut dari Nabi Muhammad SAW, Hasyim, yang meninggal di Gaza. Hingga hari ini, Gaza kadang-kadang disebut sebagai Ghazza Hashim.
Namun, kehidupan politik di Gaza tidak stabil, menjadi perebutan antara kekuatan di Mesir, Suriah, dan Arab Badui. Pada 985 M, penulis sejarah Arab al-Maqdisi melaporkan, Gaza adalah kota utama Distrik Filistin. Tetapi, perdagangan Mediterania merosot dengan mundurnya pengaruh Bizantium.
Tentara Salib menguasai Gaza pada 1100 M, setahun setelah mereka berhasil menguasai Yerusalem. Masjid kota dihancurkan dan dibangun sebuah gereja baru di sekitar situs kuil kuno Marna. Ketika Salahuddin al-Ayyubi mencoba menguasai Gaza pada 1170 M, ia hanya memenangkan daerah kecil. Setelah kemenangan di Galilea dan Yerusalem 17 tahun kemudian, ia kembali ke Gaza. Tetapi, dalam perjanjian dengan Raja Inggris Richard pada 1191, Salahuddin melepaskan Gaza dengan syarat benteng dan temboknya dihancurkan.
Sebagian besar bangunan tua di Gaza yang tersisa saat ini adalah peninggalan Dinasti Mamluk di Mesir. Untuk melindungi perdagangan mereka, Mamluk membangun khan atau hostel kafilah berbenteng di seluruh Palestina. Abad ke-14 M, khan al-Zayt dibangun oleh Sanjar al-Jawali. Al-Jawali juga mengubah gereja yang besar menjadi Masjid Umar. Ia membangun rumah sakit, sekolah, dan arena pacuan kuda.
Ketika Ottoman mengambil Palestina dari Mamluk pada 1516 M, Gaza tetap menjadi wilayah prioritas. Pada 1660 M, seorang pelancong Prancis membandingkan Gaza dengan Paris dan mencatat bahwa bahasa Arab, Turki, dan Yunani diucapkan oleh para penduduk Gaza ketika itu.
Napoleon memasuki Gaza tanpa perlawanan pada 1799. Seperti Cambyses, Aleksander, dan Tentara Salib, ia mengambil Gaza sebagai batu loncatan menuju Mesir. Napoleon tinggal tiga hari di istana di Gaza yang disebut Kastil Napoleon. Pada Perang Dunia I, Angkatan Laut Inggris memanfaatkan bukit Gaza sebagai benteng pertahanan.